Wasiat Tanpa Pesan
Waktu berbunyi berirama, mengiringku dalam lamunan senja, memutar masa lalu. Mengulang memorial sebaris prosa yang tertulis di balik layar telepon gengamku . kalimat-kalimat yang tertulis di dalamnya bagai cambukan yang menderu-deru dalam tanganku. Betapa tidak. Mengagung-agungkan sesuatu yang nihil, panggilan untuk menjadi relawan di tanah perjanjian. Palestina.
Awalnya, aku hanya akan menerima permintaan menjadi relawan diAceh, membantu korban bencana tzunami ku rasa memang sudah menjadi tanggung jawabku. Menjadi seorang perawat rumah sakit hanya membuat batinku sakit. Berbagai kasus yang ku hadapi. Mereka yang berobat memakai kartu jaminan dari pemerintah, hanya mendapatkan bantuan setengah-tengah. Meski mereka harus membayar melebihi biaya administrasi Rumah Sakit. Aku terlalu kejam melihat hal itu terjadi. Tapi, apa dayaku. Aku tidak punya hak atas semuanya.
Pernah ku berpikir untuk mengundurkan diri, tapi orangtua tak mengizinkan. Hingga aku mendengar berita bencana di Aceh. Tanpa berpikir panjang aku mengajukan diri menjadi relawan. Bagiku sangat sulit di percaya. Untuk melepaskan diri dari orang tua, aku membawa nama Idealis, etika kedokteran. Harus menolong. Dimanapun dan kepada siapapun.
Hingga tugasku selesai di Aceh... tugas berikut yang ku embang adalah menjadi relawan ke Palestina. Untuk pertama kalinya, tugas ini merasa berat bagiku....
Ke Palestina ?....Palestina itukan...kota yang.....bagaimana klu aku....
Ikhlaskah aku menerima amanah ini???. Gelisah...tapi ini kewajiban. Berarti aku harus kesana.?...aku...takut...
Bingung...
***
Awal kisahku. Prosa singkat yang pertama membuatku canggung. Akhirnya menguatkan langkahku ke Kota Asing itu, untuk pertama kalinya.Palestina...
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, kami tiba di pengungsian. Membongkar muatan. Jarum infus, jarum suntik, dan sebotol cairan Ringer laktat (RL), telah aku kelolah di tangan dan tubuh pasien di ruang pengungsian itu. Bukan satu dua orang yang harus ku rawat, tapi berpuluh sampai ribuan yang harus di rawat. Perasaan lega, membuatku senang karena bisa membantu mereka semaksimal mungkin. Meski hanya segudang kerisauan masih membayang dalam pikiranku. Aku mencoba menjalani semuanya tanpa kegundahan di hati. Tuhanku hilangkan segala khilafku... bisikku di petang itu.
Ku langkahkan beban-beban pikirku ke seluruh tempat. Derungan, kerusuhan, hiruk pikuk, menguasai tempat di sekitarku. Aku tersentak secara tiba-tiba, mengawasi segala gerak. Semua mencurigakan dalam pandanganku. Mata-mata mereka memandang, mengelilingi seluruh ruang. Mencari sesuatu. aku berlari, menjauhi segala kondisi... setiap kali seseorang membawa senjata. Aku melotot, memperhatikan tingkahnya. Mengarahkan mataku di setiap langkahnya. Aku takut... takut akan kematianku yang datang secara tiba-tiba....aku menghindar. Segalanya ku coba ku hindari...namun aku akan tetap terpaku, selama tugasku di pengungsian itu belum selesai...
Gelap. Hitam, masih kelam. Kiamat itu tiba-tiba akan datang. Namun aku belum juga merasa kuat dan tegar atas situasi ku sekarang. Aku memeriksa, mengobati, merawat seperti biasanya.. tetapi bayangku masih melayang jauh menerawan ke langit. Memikirkan bagaimana lepas dari tempat yang di anggap sangat rawan. Dingin itu menusuk,di bawa ruang mentari. Paradoks antara hati dan tubuhku. Terasa sulit ku seimbangkan.
Lelaki itu tergeletak tak berdaya, seluruh tubuhnya tersobek. Mengeluarkan cairan segar merah membanjiri lantai di samping tangga rumah sakit tempatku. Seseorang berjalan ke arahnya, secepat kilat kerumunan itu di pecahkan kedatangan sekelompok berbaju putih, memapah lelaki yang terbaring itu.
Ku terbawa dalam rombongan dimana lelaki itu akan di bawa. Di sampingnya, ku pandangi wajahnya. Cahaya remang-remang dari ruangan membuat jelas sosoknya yang berlumuran darah...tersentak. batinku berteriak saat wajah itu mengingatkan Rendra sahabatku.
Berjuta pertanyaan menancap dalam pikirku. Menerawang sebab-sebab kedatangannya ke Negara ini. Padahal seluruh dunia pun tahu, terjadi perang di Negara ini. Palestina.
Seluruh badan, dari kepala sampai kaki terlumuri cairan merah itu. Badannya mendingin,tak terasa kan denyut nadinya. Para Dokter sekitarku melakukan pecut jantung. Memandangi tubuh yang tak berdayanya. Aku hanya membantu dokter membalut lukanya, darahnya mulai berhenti mengalir, namun wajahnya masih tampak pucat. Tangannya mulai di pasangkan cairan Ringer laktat, jarum infus mulai di pasangkan di lengannya. Tak tahu apa yang akan terjadi padanya. Dokter hanya bisa memastikan Rendra akan mengalami amesia permanen akibat luka yang bersarang di kepalanya. Dan aku tak akan bisa mendapatkan alasan kenapa ia datang ke tempat ini. Padahal awalnya aku sangat berharap pada Rendra, alasan yang bisa menguatkan langkahku di tempat ini.... karena aku yakin. Pasti ada alasan mulia yang melatarbelakangi ia datang ke sini.
Waktu terus menggelincir tak akan tahu kapan berhentinya. Malam telah berganti namun ia tak juga sadarkan diri. 4 Minggu ia tergeletak tak berdaya di pemukiman kumuh itu. luka di seluruh tubuhnya mengering dengan sendirinya, tanpa peralatan lagi. Seluruh obat dan peralatan medis lainnya telah habis terpakai. Dan lebihnya telah terkubur bersama runtuhan betong- betong di sekitarku.
Tak ada tempat yang menandakan adanya rumah sakit untuk perawatan bagi semua korban perang. Segala tempat sebagian telah rata dengan tanah. Tak kan ada tanda perlindungan. Pasien yang telah ku rawat, sebagian telah pergi meninggalkan kami. Tapi sebagian lainnya berbenah diri membawa alat perang. Kembali ke medan perang. Dan sebagian lainnya mengungsi membawa air mata kesedihan. Sebab tanahnya. Tempat kelahirannya bukan lagi rumah atau tempat berlindung. Akan tetapi tempat yang sesekali dapat merenggut nyawanya dan keluarganya.
Kabut tebal menyelimuti teriknya mentari, derungan mesin dan tembakan silih berganti mewarnai hari-hari mereka. Badan kurusan tak terawat, menenteng berbagai alat berat dan bersembunyi, berpencar ke segala arah. Mencari sasaran musuhnya. Serbuan, pengepungan dan pembantaian menjadi hiasan mata sehari-hari. Memupuk tanah kering tandus beterbangan bersama debu. Mereka masih terus bergegas.
Jejak langkah menghantam tanah perbatasan menyebabkan kami bergeser dan menganti haluan. Para tentara berbaju loreng itu. melirik mengawasi setiap gerakan tubuh yang melintas. Mata-mata mereka jeli, bak mata elang mengawasi tembok pemukiman mangsanya.
Mereka semakin dekat dengan pemukiman, dan melepaskan tembakan ke arah langit...
“dimana para suster dan dokter ?, serahkan mereka ke pada kami !!!” wajah hitam itu menghentam. Mengeluarkan suara menggelegar dari mulutnya.
“kalian akan kami tinggalkan jika menyerahkan dua mahluk itu pada kami, tanpa pembantaian” seorang di antara mereka mulai bersuara lebih keras sambil mengelilingi puing-puing bangunan tempat bernaung para warga. Memeriksa warga dengan mengarahkan ujung senjata pada setiap orang yang berselimut.
“akan kami bantu jika kalian membutuhkan pertolongan. Tanpa pertumpahan darah” Dokter Afid mengeluarkan suara di balik dinding. Ia mencoba mengalihkan perhatian para serdadu itu.
Mereka mulai mengerumuni dokter afid, memeriksa segala benda yang melekat di badanya dan tas obat yang tengah di tentengnya.
“ dia dokter Afid. Kami perlu dua atau tiga perawat untuk membantunya.” Teriak serdadu lainnya.
Suasana menghening. Suara tak lagi di keluarkan. Tak ada suster atau perawat yang mangangkat badannya. Semua saling melirik.mencari sosok sang di harapkan.
“kalian tetap tak akan pergi dari sini. Janji yang kau ucapkan itu hanya racun belaka. Nada yang kau lontarkan itu hanya sebagai nyanyian perih dan sakitnya jiwa kami” suara itu terdengar sayu.mengalung samar –samar ke telinga serdadu itu. dan kami pun mendengarnya pelan.
Segerombolan serdadu itu mengarah ke satu titik munculnya suara sayup itu terdengar. Mengangkat senjata mereka mengatur aba-aba penyergapan. Tembok menghalangi mereka menemukan sasaran. Mengelilingi tempat suara itu. pelan-pelan seradau itu memasang peringatan siaga menyerbu, memasuki serpihan bangunan yang berdiri, dan tiba-tiba dari belakang mereka... Muncul sesosok lelaki dengan balutan perban. Tetesan darah segar telah terlumuri di tangannya. Serdadu yang tengah berhadapan denganya roboh tanpa mengeluarkan suara. pisau lebih dulu menancap di nadi lehernya sebelum menembakkan senjatanya. Ketiga serdadu lainya masih mengelilingi tembok itu,mereka berhenti satu titik dan tiba-tiba tembok di depan mereka rubuh bersama rubuhnya mereka karena tertimpa beton besar itu.
Darah dari tangannya terus mengalir, bercampur darah lima serdadu itu yang telah mati mendahului kata-katanya. Ia sempat memandang wajah-wajah kami yang tengah meringkuk ketakutan. Menghelai kematian dengan ucapan sakral dari mulut mereka. Mereka tak berkutik memandang sosok yang di penuhi perban itu yang tengah melangkah jauh dari pandangan. Ia berjalan lambat dan berakhir dalam dekapan bumi pertiwinya.
Aku berlari ke arahnya, mengejar bayangannya yang hampir sirna. Memalingkan tubuhnya ke cahaya... ia masih lemah,letih, ia telah bermandikan darah, belum sempat berpamitan untuk salam ke damaian .
Ia akan tertidur. Tanpa ada lagi yang kan menganngu. Tidur panjang. Meski aku tak kan mendapatkan seraingkai kata tentang hadirnya di sini. Sahabatku Rendra.