Sabtu, 07 Mei 2011

GENDER MENURUT STUDY SOSIOLOGI

Komperensi wanita internasional

1. Komperensi wanita internasional ke II Di Copenhange, pada tahun 1980
2. Komperensi wanita internasional ke III di Nairobi, Kenya tahun 1985
3. Komperensi wanita internasional ke IV di Beijing 1995

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women/CEDAW) adalah instrumen internasional yang merupakan salah satu Konvensi Hak Asasi Manusia. Melalui perjalanan panjang sejak dicetuskannya Konferensi PBB sedunia tentang Perempuan I di Mexico City, perjuangan kaum perempuan untuk mendapat perlakuan yang sama dengan kaum laki-laki disahkan oleh PBB, pada tahun 1979.
Secara juridis (de jure) hak-hak perempuan di bidang, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik yang menjadi substansi dari Konvensi CEDAW, telah diakui dunia internasional termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi tsb pada tahun 1984 dan sekaligus berkewajiban untuk melaksanakannya. Setelah disahkannya Konvensi CEDAW, pertemuan kaum perempuan sedunia dilanjutkan dalam Konferensi Perempuan II tahun 1980 di Kopenhagen, III di
Nairobi pada tahun 1985 dan tahun 1995 yang IV di Beijing. Perjuangan kaum perempuan serta aktivis perempuan sedunia terus aktif dalam mengikuti perkembangan dunia dengan mengikuti pertemuan-pertemuan internasional, seperti Konfrensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Rio de Janeiro tahun 1992, Hak Asasi Manusia tahun 1993, Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994 dan pertemuan internasional lainnya.
Setelah Konvensi CEDAW diratifikasi oleh negara-negara peserta, maka
negara yang bersangkutan berkewajiban untuk melaporkan secara periodic pelaksanaan Konvensi CEDAW yang berupa National Report ke Komisi StatusWanita (Comission on the Status of Women/ CSW) ternyata diskriminasi terhadap perempuan didunia masih tetap berlangsung. Hal tersebut dilaporkan dalam Konfrensi Wanita di Beijing tahun 1995. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk mengeluarkan ”Beijing Plattform for Action” (BPFA), yang
mengkritisi 12 area kritis yang dihadapi perempuan sedunia, seperti hak-hak perempuan dibidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan terhadap anak- anak perempuan. Setelah Deklarasi Beijing Plattform for Action dan Plan for Action (BPFA- Rencana Aksi) tahun 1995, Komisi Status Perempuan/CSW pada tahun 2000 dalam sesi ke-23 Sidang Umum PBB melaporkan perkembangan negara-negara peserta Konvensi CEDAW. Konvensi CEDAW diratifikasi Indonesia dengan UU No.7 Tahun 1984, hal tersebut mengikat Indonesia untuk melaksanakan perlakuan untuk tidak membeda-bedakan hak-hak perempuan dan laki-laki di segala bidang kehidupan. Hak-hak perempuan yang diakui secara de jure, tidak diperlakukan secara diskriminatif oleh negara, namun secara defakto, perlakuan tersebut masih dengan jelas terjadi. Bidang keluarga (UU No.1 Tahun 1974) misalnya, fungsi kepala keluarga dan ibu rumah tangga dibedakan yang berdampak luas dalam kehidupan, baik di bidang politik, ketenaga kerjaan, kesehatan, budaya dan lain sebagainya. UU No.7 Tahun 1984 yang telah berlaku selama 22 tahun belum dapat berbuat banyak. Kurun waktu 2000-2005 seperti yang dilaporkan
Indonesia pada sessi 23 tsb telah membuat kemajuan yang nyata yang mengarah pada perubahan demokrasi dalam sistem politik, yaitu : amandemen UUD 45 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU tersebut merupakan payung hukum bagi semua pembentukan peraturan perundang- undangan yang menjamin perwujudan dan perlindungan hak asasi laki-laki dan perempuan. Dalam melaksanakan penghapusan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
Secara periodik Kesepakatan - BPFA dilaporkan kemajuannya oleh setiap negara peserta pada Sessi ke-49 Komisi Kedudukan Perempuan/CSW, yang diadakan PBB, New York, 28 Februari-11 Maret 2005. Dalam pertemuan tersebut Indonesia sebagai negara peserta turut serta melaporkan kemajuan tentang pelaksanaan Konvensi CEDAW, terutama penegasan kembali komitmen Pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan dan sasaran Deklarasi Beijing dan Rencana Aksi dan hasil Sesi ke-23 Sidang Umum tahun 2000. Walaupun Konvensi CEDAW tidak langsung dapat diimplementasikan dan tidak diakomodir dalam perangkat peraturan perundang-undangan tersendiri (undang-undang tentang perempuan), namun dalam setiap peraturan perundang-undangan nasional secara umum dapat dilihat doktrin para ahli
hukum ketika membuat undang-undang tersebut dalam suatu Naskah Akademis.
Oleh karenanya hak-hak perempuan yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan (Hukum Nasional) dapat digali melalui naskah akademisnya (Academic Draft) sebagai pembentukan hukum yang tumbuh dan berkembang, guna keadilan dan kepastian hukum untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, sesuai dengan hak asasi manusia tanpa diskriminasi.
Pada tingkat global, upaya untuk meningkatkan kualitas perempuan dicerminkan oleh mukadimah Piagam PBB yang ditandatangani tanggal 26 Juni 1945, antara lain dapat dibaca bahwa bangsa-bangsa yang bersatu dalam PBB bertekad supaya generasi-generasi mendatang terhindar dari bencana peperangan yang telah dua kali mendatangkan penderitaan yang menyedihkan bagi umat manusia. Para pendiri PBB juga kembali memperkuat keyakinan atau kesetiaan mereka terhadap hak-hak asasi manusia, martabat dan nilai luhur dari manusia sebagai pribadi serta terhadap persamaan hak laki-laki dan perempuan dan persamaan hak dari negara besar dan kecil. Piagam PBB inilah dokumen hukum yang pertama-tama secara tegas memuat
persamaan hak dari semua orang dan menyatakan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin adalah bertentangan dengan hukum, Meskipun perlu dicatat bahwa pencantuman larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin ini baru dimuat berkat desakan dari wakil-wakil 42 lembaga swadaya masyarakat yang memperoleh pengakuan sebagai peserta dalam pertemuan-pertemuan penyusunan Piagam PBB (The United Nations 1995, hlm. 10).
Suatu upaya mendasar yang dilakukan oleh PBB dan oleh aktivis HAM, khususnya
yang berkaitan dengan perlindungan HAM bagi perempuan, yang dirasakan perlu adalah perumusan dari ukuran-ukuran yang secara internasional disepakati sehingga akan terwujud instrumen-intrumen internasional yang diperlukan untuk perwujudan kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Di Indonesia sendiri berbagai upaya perwujudan kesetaraan gender (relasi antara laki-laki dan perempuan) juga terus mengalami penguatan. Berbagai upaya tersebut antara lain yang terkait dengan berbagai resolusi internasional yang telah disepakati oleh
pemerintah Indonesia, diantaranya ialah :

1. Declaration of Mexico on The Eguality of Women and Their Contribution to Development and Peace (Mexico, 1975).
2. World Plan of Action for The Implementation of The Objectives of The International
Women 's Year.
3. United Nations Decade for Women (1975-1985) yang bertemakan "Equality, Development and Peace" (Persamaan, Pembangunan dan Perdamaian). United Nations Decade for Women adalah wujud realisasi dari World Plan of Action for The Implementation of The Objectives of The International Women's Year.

4. World Conference of The United Nations Decade for Women di Copenhagen pada tahun 1980. Inti acara dari konferensi ini antara lain ialah me-review hasil pelaksanaan United Nations Decade for Women.
5. World Conference Review and Appraise The Achievement of The United Nations Decade for Women di Nairobi pada Tahun 1985. Hasil dari review ini adalah timbulnya dokumen tentang "Nairobi Forward Looking Strategies for the Advancement of Women".
6. KTT Ibu Negara tentang Pemberdayaan Perempuan Pedesaan, diselenggarakan di Jenewa pada Tahun 1992 dan di Malaysia tahun 2000.
7. Dimuatnya Klausul tentang Peningkatan Peranan Perempuan dalam Proceedings KTT Non Blok di Jakarta pada Tahun 1994.
8. Asean and Pasific Conference (ASPAC) di Jakarta pada Tahun 1994, yang merupakan pra-World Conference Beijing.
9. World Conference IV of The Role of Women di Beijing pada bulan September Tahun 1995. Konferensi dunia ini menghasilkan Beijing Declaration and Platform of Action yang memuat 12 bidang kritis yang menjadi perhatian dunia mengenai hal-hal yang menghambat penyamaan kedudukan, hak dan peranan perempuan sedunia dalam pembangunan keduabelas bidang kritis tersebut antara lain perempuan dan media, perempuan dan kemiskinan, perempuan dan konflik bersenjata, perempuan dan ekonomis, perempuan dan pendidikan dan sebagainya. Selanjutnya setiap pemerintah harus komit untuk melaksanakan landasan bagi aksi kegiatan dengan menjamin bahwa pendekatan gender dicerminkan pada semua kebijaksanaan dan program kerja.
10. KTT tentang Pembangunan Sosial di Copenhagen pada Tahun 1995.
11. Special Session of The United Nations General Assembly di New York tahun 2000 yang bertemakan "Women 2000: Gender Eguality, Development And Peace for The Twenty-First Century".
Gender adalah kajian analisis tentang perempuan dan laki-laki
Dengan melihat realitas kehidupan masyarakat. Gender dapat dilihat sangat berpengaruh terhadap posisi perempuan dan laki-laki .Hal ini di buktikan dengan karena pada system peranan dan hubungan social antara perempuan dan laki-laki sudah tidak di permasalahkan .
Selain itu gender menganalisis tentang kesetaraan yang dapat di capaian antara laki-laki dan perempuan . dapat dipandang :
Memilki kedudukan yang sama kemampuan yang sama dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Sejarah pembedaan jender antara laki- laki dan perempuan terbentuk melalui
proses yang panjang, melalui proses sosialisasi, diperkuat dan dilembagakan baik secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan dan bahkan melalui peraturan-peraturan negara. Sehingga sering dianggap bahwa ketentuan jender tersebut merupakan ketentuan yang tidak dapat dirubah karena dianggap sebagai ketentuan yang sudah sewajarnya.
Implikasi Jender Pembedaan secara jender sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan persoalan-persoalan. Namun yang menjadi masalah ternyata pembedaan jender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki- laki dan (terutama) bagi kaum perempuan. Bentuk ketidakadilan dan penindasan tersebut antara lain berupa subordinasi, diskriminasi, marjinalisasi, kekerasan, pelebelan negatif serta beban kerja yang berat sebelah (Faqih, 1996).

DANIEL BELL TOKOH SOSIOLOGI

Untuk orang lain yang bernama Daniel Bell, lihat Daniel Bell (disambiguasi).
Daniel Bell
Lahir 10 Mei 1919 (umur 90)
New York
Fields Sosiologi
Lembaga Harvard University
Dikenal Pasca-industrialisme
Daniel Bell (lahir 10 Mei 1919 di New York City) adalah seorang sosiolog dan profesor emeritus di Universitas Harvard. Dia juga seorang direktur Suntory Yayasan dan sarjana di kediaman American Academy of Arts and Sciences. Ia telah menerima gelar kehormatan dari Harvard, Universitas Chicago, empat belas universitas di Amerika Serikat, dan Universitas Keio, di Jepang. Saat ini ia tinggal di Cambridge, Mass, bersama istrinya Pearl Bell, seorang sarjana sastra kritik. Dia telah menerima "Lifetime Achievement Award" oleh Asosiasi Sosiologi Amerika pada tahun 1992, dan Talcott Parsons Prize untuk Ilmu Sosial oleh American Academy of Arts and Sciences pada tahun 1993. Dia juga diberi Tocqueville Award oleh pemerintah Perancis pada tahun 1995.
Bel lulus dari City College of New York dengan ilmu pengetahuan dan sarjana ilmu sosial. Dia memulai karirnya sebagai jurnalis, menjadi editor majalah Pemimpin Baru (1941-1945), seorang tenaga kerja Fortune editor (1948-1958) dan kemudian co-editor (dengan teman kuliah Irving Kristol) dari The Public Interest majalah (1965-1973). Universitas Columbia pada tahun 1960 diberikan kepadanya Ph.D. derajat. Ia mengajar sosiologi di Columbia pertama (1959-1969) dan kemudian di Harvard hingga pensiun pada tahun 1990. Bell juga adalah Pitt mengunjungi Profesor Sejarah Amerika dan Lembaga di Cambridge University pada tahun 1987. Ia menjabat sebagai anggota Komisi Presiden Technology di 1964-1965 dan sebagai anggota Komisi Presiden Agenda Nasional tahun 1980-an pada tahun 1979.
Daniel Bell pernah menggambarkan dirinya sebagai "sosialis dalam ekonomi, liberal dalam politik, dan budaya yang konservatif."
Ia terkenal karena kontribusinya pada pasca-industrialisme. Buku-buku yang paling berpengaruh adalah The End of Ideology (1960), The Budaya Kontradiksi Kapitalisme (1976) dan The Coming of Post-Industrial Society (1973). Dua dari buku-bukunya, Akhir dari Ideologi dan Kontradiksi Budaya Kapitalisme yang terdaftar oleh Times Literary Supplement sebagai di antara buku yang 100 paling penting di paruh kedua abad kedua puluh. Hanya Isaiah Berlin, Claude Lévi-Strauss, Albert Camus, George Orwell dan Hannah Arendt, telah dua buku begitu terdaftar.
Putra Bell, David A. Bell, adalah seorang dekan dan profesor sejarah Perancis di Johns Hopkins University, dan putrinya, Jordy Bell, adalah seorang administrator dan akademik guru, antara lain, Perempuan AS Marymount sejarah di College, Tarrytown, New York, sebelum pensiun pada tahun 2005.
[sunting] Kedatangan Masyarakat Post-Industri
Dalam The Coming of Post-Industrial Society Bell diuraikan jenis baru masyarakat - pasca-masyarakat industri. Dia berargumen bahwa pasca-industrialisme akan dipimpin dan informasi-service-oriented. Bell juga berpendapat bahwa masyarakat pasca industri akan menggantikan masyarakat industri sebagai sistem dominan. Ada tiga komponen untuk pasca-masyarakat industri, menurut Bell:
• pergeseran dari manufaktur ke layanan
• sentralitas dari ilmu baru industri berbasis
• munculnya elite teknis baru dan munculnya prinsip baru stratifikasi.
Bell juga konseptual yang membedakan antara tiga aspek dari masyarakat pasca-industri: data, atau informasi yang menggambarkan dunia empiris, informasi, atau organisasi yang bermakna data ke sistem dan pola-pola seperti analisis statistik, dan pengetahuan, yang conceptualizes Bell sebagai penggunaan informasi untuk membuat penilaian. Bell membahas naskah Kedatangan Masyarakat Post-Industri dengan Talcott Parsons sebelum diterbitkan.