sCementara menunggu makanan yang dipesan sampai, kami berborak tentang pelbagai perkara. Dari berita kemenangan Obama sampailah tentang keadaan mahasiswa Malaysia di sini. Dalam diskusi kami sempat kami selitkan isu-isu yang terjadi di Indonesia. Banyaknya kes pembunuhan dan mutilasi yang terjadi baru-baru ini, menjadikan perbualan tersebut semakin rancak mengiakan klaim kami terhadap Indonesia. Tidak ada yang dapat menafikan, negara ini berada di dalam lembah masalah yang kian hari menenggelamkan rakyatnya. Setiap sisi dari negaranya menyumbangkan masalah dalam definisi masing-masing. Sehingga mereka yang tidak redha menjadi beban buat tanah air juga ikut terheret ke dalam sengsara tersebut. Terlalu banyak kuasa yang diberikan kepada orang yang sedikit sekali menghargai titis peluh rakyat yang menanggung beban negara. Belum dihitung jabatan-jabatan kerajaan yang dirangkul oleh orang-orang bodoh. Tidak hairan bila ada wakil rakyat dan menteri yang membeli sijil ijazah dan gelaran mereka untuk ikut bertanding dalam jabatan kerajaan. Jurang ekonomi sepertinya tidak akan pernah menipis. Terus menguak lebar seluas kantung wang para koruptor dan tikus – tikus busuk di sela-sela longkang dewan negara mereka. Aku dapat menyimpulkan pengajarannya sebagai : Lakukan sebaliknya daripada apa yang berlaku di negara ini.
Setelah selesai makan dan sekilas melihat beberapa kedai, kami langsung menuju ke motor untuk pulang. Nad yang diboncengi aku, siap dengan tiket parking dan wang untuk bayarannya. Sudah menjadi tradisi kami siapa yang dibonceng, dialah yang membayar tiket. Untuk menghargai orang yang membawa motor dan minyaknya sekalian mungkin. Daripada 3 pos pembayaran tiket, hanya 2 pos yang kami lihat motor lain beratur untuk membayar. “Yazid, amik line paling kiri tu, takde motor beratur!”. Tanpa berfikir panjang dan daripada beratur panjang, aku terus masuk ke pos pembayaran yang Nad maksudkan tadi. Aku langsung tersenyum setelah melihat kelibat di samping pos tersebut. “Patutla takde orang nak beratur kat sini, ada anak jalanan (pengemis kanak-kanak) rupanya. “ Bisik Nad. Motor aku berhenti bersebelahan dengan pos pembayaran. Sementara Nad sibuk bertransaksi, aku melihat telatah anak-anak kecil tersebut. Ada 2 orang, adik beradik mungkin. Sekitar umur 6-7 tahun dugaanku. Muka dan tangan mereka hitam dek dibakar matahari, pasti sudah bertahun-tahun lamanya. Corengan di muka dan pakaian lusuh mereka menambahkan kesayuan siapapun melihat keadaan mereka. Biasanya jika ada motor yang berhenti untuk membayar, mereka mula membinarkan mata dan memberikan ekspresi paling sedih yang termampu mereka tunjukkan demi meraih simpati dan mudah-mudahan, sedikit wang recehan dari orang lain yang lebih bernasib baik. Tetapi kali ini mereka tidak begitu. Salah seorang dari mereka sambil memegang tayar motorku, berkata kepada yang satunya lagi. “Motor seperti ini yang aku mahu beli nanti. Motor racing!”. Sungguh-sungguh dia cuba meyakinkan kata-katanya. Saudaranya tadi sibuk membelek motorku, sepertinya sudah termakan dengan kata-katanya. Aku hanya tersenyum melihat gelagat anak-anak berdua tersebut. Aku bisikkan kesedihan dalam hatiku. Betapa impian mereka masih jauh untuk digapai. Sedangkan sesuap nasi untuk esok harinya saja belum tentu ada. Aku mencela diriku yang selalu lupa untuk bersyukur.
“Opss!!” Wang kembalian dari pos bayaran parking tadi tidak semuanya erat di tangan Nad. Sehelai not seribu rupiah (40sen) perlahan jatuh ke samping motor. Aku yang merunduk untuk mencapai wang tersebut rupanya sudah didahului oleh tangan anak kecil yang comot tadi. Mata kami bertemu, saling berpandangan. Di tangan anak kecil itu tersemat kemas not seribu tadi. Dia tersenyum dan sambil melihatku, tangannya menghulurkan wang tadi kepadaku. Aku terdiam sebentar. Tanganku perlahan mencapai hujung not tersebut yang masih di tangannya. “Takpe, bagi je.” Tiba-tiba Nad bersuara dari belakang. Aku membalas senyumannya. Not tersebut kembali ke tangannya semula. “Terima kasih ya”. Ujarnya sambil tersenyum. Kamipun berlalu pergi.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus memikirkan bagaimana jika aku berada dalam keadaan seperti mereka. Tidak tentu makan dan minum hari ini, apatah lagi esok. Aku yang sudah dapat makan saja sudah banyak mengeluh. Sudah pasti mereka juga tidak bersekolah. Rumahnya entah diselokan kumuh yang mana. Itupun kalau ada. Kebanyakan mereka hanya berbumbungkan langit dan berselimutkan angin malam. Terbakar dek bahang panas matahari dan menciut dalam kedinginan hujan. Tempat permainan mereka ada disetiap ruas jalanan dan mimpi-mimpi mereka hanya mahu didengari Tuhan. Sekilas, sungguh tidak adil rasanya aturan dunia ini. Siapakah kita untuk menafikan hak mereka untuk sama menikmati kehidupan? Kenapa nasib mereka tidak sebagus kita? atau setidaknya layak untuk hidup dalam erti yang sebenarnya? Maha Suci Allah yang menjadikan tiap-tiap dari makhlukNya dalam sebaik-baik keadaan. Dia menciptakan seluruh manusia dengan peluang yang sama besar, cuma manusia yang sering mengikis kesempatan saudaranya. Besar atau kecilnya rezeki seseorang bukanlah urusan kita untuk menentukannya. Walaupun semuanya telah tertulis di Lauh Mahfuz, belum pernah ada yang pasti dengan rezekinya sehinggalah dia kembali kepadaNya. Aku bersyukur kerana hari itu aku telah diberi pengajaran. Pengajaran dari seorang pengemis. Pengajaran dari tangannya yang menghulurkan wang dan tanganku yang menerimanya. Sungguh, tidak ada orang yang mahu menadahkan tangan demi memanjangkan usia hidupnya. Kitalah yang selalu memaksa mereka, sama ada kita sedari ataupun tidak. Dunia tanpa kemiskinan itu tidak mustahil, jika kemiskinan dalam hati manusia dapat kita sirnakan.
90% kekayaan bumi dikuasai oleh 1% penduduknya.
Anak adalah masa depan keluarga dan bangsa. Itu sebabnya, semua orang tua berharap anak-anaknya bisa mengangkat harkat dan martabat keluarganya dan keluar dari himpitan ekonomi.
Namun apa jadinya bila ada anak-anak yang sejak kecil berada di jalanan dan menjadi pengemis kemudian menjadi penjaja seks komersial (PSK) saat mereka beranjak remaja/dewasa? Hal seperti ini dapat dijumpai Kota Makassar, Sulsel.
Beberapa anak jalanan yang dahulu menjadi pengemis pada sudut-sudut perampatan jalan yang ada lampu lalulintas di sepanjang jalan Sungai Saddang, kini tidak berada lagi di tempat itu untuk menadahkan tangan meminta-minta kepda pengendara.
Berbekal gincu, bedak, kondom dan tubuh yang ‘aduhai,’ sekitar pukul 23.00, anak-anak yang baru beranjak remaja itu terlihat berdiri di bawah naungan pohon besar (remang-remang) sambil melambaikan tangannya kepada sejumlah pengendara yang melintas di depan mereka.
Tidak sedikit kendaraan yang merespon lambaian tangan itu. Saat kendaraan itu berhenti, si ABG (anak baru gede) ini akan segera berlari mendekati kendaraan tersebut dan tak lama kemudian, ABG tersebut sudah berada di mobil dan melaju ke suatu tempat, entah kemana. Yang jelas, si ABG tersebut telah menemukan mangsanya.
Menurut pengakuan Adrian (20) yang dahulu banyak menghabiskan masa kecilnya di jalan untuk mencari sesuap nasi, beberapa teman-temannya terutama anak jalanan perempuan kini telah menjadi PSK.
Mereka terpaksa menempuh jalan tersebut karena tidak memiliki keterampilan lain untuk mencari pekerjaan, sementara mereka sendiri mengaku merasa malu bila tetap berada di persimpangan jalan dengan mengenakan pakaian compang-camping sambil membawa kotak kecil dan menyodorkannya kepada sejumlah pengendara jalan raya.
“Kalau tidak begini, kami mau cari uang dimana dan mau makan apa?” jelas seorang gadis berumur 15 tahun yang enggan menyebutkan namanya.
Yang jelas, katanya, apa yang dilakukannya itu tidak ditentang orang tuanya, justru orang tuanya merasa senang karena diberi uang dari hasil kerjaannya itu. Sayangnya, ia tidak mau menyebutkan jumlah pendapatan yang diperolehnya dari hasil kencan dengan pria hidung belang dan segera berlalu seolah tak ingin menyia-nyiakan waktunya untuk mencari korban-korban penikmat seks lainnya.
Transisi pekerjaan anak jalanan menjadi PSK ini diakui Nuryanto, pendamping anak jalanan yang telah bertahun-tahun bersama mereka.
“Umumnya, anak jalanan yang telah memasuki usia SMP merasa malu berada lagi di jalanan dan memilih untuk berada di pinggir-pinggir jalan yang remang-remang,” jelasnya.
Meski demikian, katanya, di Makassar belum ditemukan ada anak yang menjadi korban phedofelis seperti yang terjadi pada beberapa kota besar di Indonesia. “Beberapa ABG yang kini terjun ke ‘lembah hitam’ itu kemungkinan mereka yang kerap menjadi korban perilaku seksual saat berada di jalanan,” tambahnya.
Kapolwiltabes Makassar, Kombes Pol. Nurman Thahir mengatakan, hingga saat ini, pihaknya belum menemukan adanya kasus pelecehan yang dialami anak-anak jalanan.
“Mungkin ada diantara mereka yang menjadi korban pelecehan seksual namun mereka tidak berani melaporkannya kepada polisi,” kata Nurman yang mengaku prihatin dengan kondisi anak-anak jalanan di kota ini.
Yang jelas, katanya, aparat kepolisian akan melakukan tindakan tegas terhadap anak-anak jalanan bila mereka bertindak kriminal. Nurman juga berharap agar pemerintah setempat segera melakukan razia terhadap anak-anak jalanan yang dinilai bisa mengancam masa depannya dan mengganggu warga, khususnya pengguna jalan raya.
Sodomi Seorang anak jalanan yang sering mengamen di beberapa sudut jalan , Andi (13) mengaku nyaris menjadi korban sodomi saat salah seorang anak muda meminta dilayani dengan imbalan sejumlah uang.
Namun beruntung, hal tersebut tidak terjadi sebab Andi segera melarikan diri setelah menerima uang pemberian dari lelaki yang diketahui adalah seorang pengamen itu.
“Saya langsung lari ketika dia mengajak ke suatu tempat dan menyuruh saya untuk melayaninya,” ungkap Andi yang sering mengemis dan mengamen di perempatan lampu merah Jalan Mesjid Raya dan Jl. Andalas ini.
Perilaku seperti itu, menurut siswa SMP PGRI Makassar ini, sering dialami namun tidak membuatnya jera untuk terus mencari sesuap nasi di pinggir jalan. Sepulang sekolah, Andi yang orang tuanya berprofesi sebagai tukang becak ini langsung menjalankan aksinya sebagai pengamen di pinggir jalan di sudut lampu merah.
“Kalau malam minggu, saya biasa mengamen di Pantai Losari tetapi saya takut ke sana lagi karena banyak anak muda yang mau mengajak berbuat begituan (sodomi-red),” ujarnya.
Selain ancaman pelecehan seksual, Andi juga mengaku kerap mendapatkan perilaku kekerasan dari beberapa preman. Dirinya sering dipukul dengan menggunakan rotan bila tidak menyerahkan hasil setoran mengamen atau tidak bekerja selama beberapa hari.
Berbeda halnya yang dialami Yanti (11), siswa kelas V SD Maradekaya I Makassar yang juga kerap mendapatkan tindak kekerasan dari orang tuanya dan sering mengalami pelecehan seks. Menurut pengakuannya, beberapa pengendara yang berhenti di jalan bersaha mengajaknya ke suatu tempat setelah diiming-iming akan diberikan uang Rp100.000. Namun ia menolaknya dan segera lari setelah menghempaskan tangan si pengendara yang mulai menggeranyangi tubuhnya.
Ibu Yanti, Hasmiati (35) mengaku terpaksa menyuruh anaknya tetap berada di jalan agar bisa memenuhi kehidupan keluarganya dan seolah tidak risau dengan ancaman kekerasan seksual yang dihadapi puterinya itu.
“Kalau tidak begitu, kita mau makan apa?” tutur ibu beranak empat ini yang sering mengawasi aktivitas anak-anaknya di jalan. Keempat anaknya itu diperintahkan untuk mencari uang di jalan, tidak terkecuali dengan anaknya yang baru berumur tujuh bulan.
Sementara dari penghasilan yang diperoleh ke-empat anaknya ini, dia telah memiliki dua sepeda motor bahkan hasil pendapatan anaknya itu digunakan untuk bermain judi.
Prihatin Sejumlah LSM, legislatif dan eksekutif mengaku prihatin dengan kondisi yang dialami anak-anak jalanan ini, namun segala upaya yang telah dilakukan berbagai elemen masyarakat, tidak cukup membantu bahkan jumlah anak jalanan di kota “anging mammiri” ini semakin bertambah banyak.
Bahkan Lembaga Perlidungan Anak (LPA) Sulsel mengaku mengalami kesulitan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak jalanan yang kerap mendapatkan perilaku pelecehan seksual dan tindak kekerasan, sebab mereka tidak berani melaporkan kejadian tersebut.
Selama ini, kata Ketua LPA Sulsel, Mappinawang, pihaknya hanya menangani atau memberikan perlindungan kepada anak jalanan yang terlibat maslaah hukum, anak-anak yang diperdagangkan atau mengalami pelecehan seksual dan adanya mobilisasi anak-anak jalanan.
“Anak peru dilindungi karena mereka memiliki empat hak, seperti hak untuk hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi dan mendapatkan perlindungan hukum seperti yang tertuang dalam UU Pelrindungan Anak Nomor 3/1997,” jelasnya.
Perlindungan hukum terhadap anak jalanan ini, tidak hanya berlaku terhadap anjal perempuan, tetapi juga kepada anjal laki-laki yang kerap mengalami pelecehan seksual. Sebab itu, pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyisiran terhadap sejumlah anak jalanan.
Anggota DPRD Makassar, Syamsu Niang pun mengaku prihatin dengan kondisi anak jalanan yang dihadapi. Dia meminta kepada pemerintah setempat untuk segera menertibkan anak-anak jalanan.
Pasalnya, kalau hal tersebut dibiarkan, anak-anak tersebut tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga merugikan dirinya sendiri. “Penanganan anak-anak jalanan ini khan sudah dianggarkan dalam APBD Makassar,” jelas anggota komisi C DPRD Makassar yang membidangi kesejahteraan ini.
Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin sendiri mengaku bahwa pihaknya telah menghabiskan APBD 2005 senilai ratusan juta untuk membina keterampilan kepada anak-anak jalanan dan orang tuanya itu. “Kami sudah memberikan bantuan kepada ratusan KK kurang mampu, masing-masing KK diberikan santunan sekitar Rp3 juta belum termasuk bantuan peralatan masak dan sarana pembuatan kue yang bisa digunakan untuk membuka usaha kecil,” jelas Ilham.
Namun sayang, upaya pemerintah ini belum berhasil untuk meminimalisir jumlah anak-anak yang berada di jalan. Para orang tua malah menyuruh anak-anak mereka untuk mencari uang dengan alasan bahwa bantuan berupa uang yang diberikan pemerintah Kota Makassar sudah habis.
Sehingga salah satu alternatif yang dianggap paling jitu untuk menyingkirkan anak dari jalanan adalah tidak memberikan uang kepada mereka.
Kadis Sosial Makassar, Ibrahim Saleh bertekad tahun 2007, Makassar sudah bebas anjal. Pihaknya mempersiapkan beberapa langkah untuk mengatasai anak jalanan dan pengemis. Misalnya dengan mensinkronkan program Pemerintah Kota, Pemerintah Provinsi dan ’stakeholder’ untuk melakukan penertiban secara terpadu. ”Pokoknya, kita targetkan tahun 2007 mendatang, Kota Makassar sudah bebas dari pengemis dan anak jalanan,” tegas Ibrahim.
Selain melakukan penertiban, Dinsos Makassar juga akan memberdayakan ekonomi keluarga mereka. “Dengan diberdayakannya ekonomi mereka, maka tidak akan ada lagi alasan bagi mereka untuk turun ke jalan meminta-minta,” kata Ibrahim.
Berdasarkan data Dinas Sosial Kota Makassar, sebanyak 718 orang yang berasal dari 502 kepala keluarga (KK) tergolong anak yang bekerja di jalan. Dari jumlah ini, sekitar 337 orang anak beroperasi di pusat kegiatan ekonomi, 109 orang anak pemulung dan 272 orang anak pengemis yang beroperasi dari rumah ke rumah.
Sedangkan anak yang betul-betul tergolong sebagai anak jalanan dan hidup di jalan mencapai 230 orang yang berasal dari 146 kepala keluarga (KK). Dari jumlah ini, sekitar 199 orang diantaranya berasal dari keluarga fakir miskin dan 31 orang anak dari penyandang eks penyakit kronis.
Sulitnya mengatasi anak-anak jalanan ini diakui pula Ketua Forum Pendamping Anak Kota Makassar, Nuryanto. Pasalnya, sejumlah anak-anak yang terjaring dalam razia yang kemudian dimasukkan dalam tempat tertentu untuk diberikan pembinaan dan keterampilan lainnya, tidak bisa menjamin anak-anak itu tidak akan kembali lagi ke jalan.
Apalagi katanya, dukungan orang tua yang mendorong anaknya untuk tetap kembali ke jalan sangat besar Pengaruhnya. Sebab lanjut Nuryanto, mayoritas para orang tua anak jalanan (anjal) memiliki prinsip untuk mengajar anak mereka hidup mandiri (bekerja) meski dengan cara meminta-minta di jalan. “Kalau mereka sudah kehabisan modal/subisidi yang diberikan pemerintah, tentu akan kembali ke jalan lagi sebab mereka berpikir bahwa mencari uang di jalan itu lebih mudah dan hasilnya banyak,” jelas anggota divisi pelayanan advokasi anak Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel ini.
Padahal kata Nuryanto, Rumah Sosial Perlidungan Anak (RSPA) yang dahulu bernama rumah singgah banyak melakukan pembinaan kepada anak-anak jalanan. Mereka diberikan pula pendidikan informal dan penanaman nilai-nilai hidup.
Sebab itu katanya, dalam upaya pemberdayaan anak, pihaknya juga meminta kepada pemerintah untuk tidak melakukan razia terhadap anak-anak jalanan tetapi kepada orang tua mereka yang setia mengawasi anak-anaknya di jalan.
“Semua itu tergantung pada orang tua mereka masing-masing, sebab merekalah yang memiliki peran penting dan penentu kebijakan, apakah anak-anaknya dibiarkan untuk tetap hidup di jalan atau tidak,” kata Nuryanto.
Untuk 2010 ini, ia belum bisa memberi penjelasan mengenai bentuk penanganan pengemis. Ia berkelit sedang melakukan kajian. "Nanti saya rumuskan lebih detail lagi," katanya.
Anggota Komisi Kesejahtaraan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah Makassar, Ikbal Djalil menilai tentu ada sebab sehingga pengemis tidak ingin pulang kampung, misalnya mereka tidak punya penghasilan di daerahnya dan selalu dikucilkan. Disinilah peran pemerintah, kata dia, menelorkan solusi jitu untuk kehidupan bekas penderita kusta ini.
Ia menawarkan agar pemerintah memberikan keterampilan dan modal terhadap mereka, supaya keinginan untuk mengemis tidak ada lagi. Pemerintah juga perlu memperkuat koneksi hingga ke daerah asal para pengemis, supaya ada tanggungjawab pemerintah daerah untuk mengawasi mereka. "Administrasi kependudukan juga diperketat, supaya laju urbanisasi bisa dikontrol dengan baik," katanya.
Maraknya pengemis di Makassar sudah menjadi fenomena yang selalu disoroti berbagai pihak setiap tahunnya, pemerintah telah mebuat regulasi yang cukup banyak untuk menangani mereka. Diantaranya pembuatan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang penanggulangan pengemis dan anak jalanan. Namun aturan yang memberi sanksi kurungan penjara bagi pengemis yang berkeliaran di kota itu tersebut sulit diterapkan dengan baik. "Memang masih cukup kurang realisasinya," kata Ibrahim.
Saat ini pengemis bekas penderita kusta di Makassar berkeliaran hampir diseluruh ruas jalan dan pusat keramaian. Mereka mudah ditemui di Jalan Sultan Hasanuddin, Jalan Balai Kota, Jalan Ahmad Yani. Selan itu mereka sering memasuki tempat wisata seperti Pantai Losari, kemudian warung makan dan kafe.
Kisah Anak Pengemis yang Menjadi Anggota Skuad MFS 2000 Makassar
Kisah/cerita ini saya dapat waktu search di google tentang MFS 2000 (SSB di Makassar). Tulisan ini saya dapat di blogs/multiply saudara Tomi dan tulisan aslinya terdapat di panyingkul.com.
Saya petikkan tulisan bagus tentang perjuangan seorang anak pengemis di Makassar untuk bisa bergabung dalam klub sepak bola di kotanya. Berkat keuletan dan persahabatannya dengan seorang anak wakil rakyat, anak miskin itu bisa masuk dalam tim inti, turut memenangkan pertandingan Liga Junior di Jakarta dan berkesempatan mencicipi rumput stadion sepak bola di Lyon, Perancis.
Terdengar seperti fiksi? Ini cerita nyata yang ditulis oleh Aan Mansyur, salah satu peserta pelatihan Jurnalisme Orang Biasa yang diselenggarakan oleh Panyingkul, situs yang didedikasikan untuk "merayakan jurnalisme orang biasa" (klik di sini untuk melihat lebih lanjut tentang Panyingkul).
Ini cerita hebat, yang ditulis berkat gagasan hebat untuk "merayakan jurnalisme orang biasa" (aku suka banget dengan frasa ini. Gagah kedengarannya)
Abanda, berpose di depan Biblioholic.
Foto : Basrul Haq
Bola Nasib Abanda
M. Aan Mansyur
“Saya sangat percaya nasib itu bisa berubah, sepanjang kita mau berusaha.”
(Daeng Halimah, nenek Abanda)
SEORANG PEREMPUAN MENDEKAT. Perempuan itu membawa nampan berwarna coklat berisi permen. Ia berjalan anggun mendekati setiap kursi menawarkan permen aneka rasa kepada para penumpang.
"Permen itu gratis," bisik Herli ke telinga kiri Abanda. "Jika kita naik pesawat, kuping akan terasa sakit," tambah Herli. "Maka untuk mengurangi rasa sakit, kita harus mengunyah permen sebanyak-banyaknya."
Saat tiba giliran Abanda, yang duduk dekat jendela, ia mengambil banyak permen. Pramugari yang membawa nampan kecil berisi permen itu membuat senyumnya lebih lebar saat melihat tingkah Abanda. Baginya, mungkin itu sangat menggelikan.
Karena gugup, Abanda lupa mengucapkan terima kasih, seperti yang sering ia lakukan dulu jika ada orang yang menjatuhkan kepingan uang logam di wadah sabun di tangannya.
Abanda kelihatan sungguh tegang duduk di salah satu kursi Merpati Nusantara Airlines, sementara teman-temannya tenang saja. Mungkin mereka sudah terbiasa naik pesawat, begitu pikir Abanda. Di antara 14 anak anggota tim Makassar Football School (MFS) 2000 yang akan berlaga di Liga Danone 2005 di Jakarta, Abanda yakin betul dirinyalah yang paling miskin. Di ruang tunggu, sebelum berangkat, semua anggota tim ditemani orang tuanya yang berpakaian bagus dan menggenggam ponsel mahal, kecuali dirinya. Semua anak lain membawa uang jajan, sementara ia tak membawa uang sepeser pun.
Hari itu, di bawah terik matahari bulan Agustus, Daeng Mantang, ibunya, yang seharusnya mengantar Abanda ke bandara sedang berada di Jalan Mesjid Raya, di sekitar lampu merah.. Neneknya, Daeng Halimah, dan adik-adiknya juga berada di sana, sedang menengadahkan tangannya pada jendela mobil yang terperangkap lampu merah. Sewaktu Abanda dan rombongannya melewati Jalan Mesjid Raya menuju bandara siang itu, ia masih sempat melihat Daeng Halimah dan adik-adiknya di sana masing-masing sedang memegang wadah sabun berwarna biru langit. “Itu nenekku,” kata Abanda pada Herli, sahabatnya, sambil menunjuk Daeng Halimah yang berdiri di trotoar mengamati mobil yang lewat. Bagi Abanda, Herli sudah seperti saudara. Kepada Herli, ia tidak menutupi apapun tentang diri dan keluarganya.
Subuh hari saat pamit, Abanda tidak berani meminta Daeng Halimah dan ibunya menemani ke bandara. Tentu saja tak akan ada yang berani melakukannya, pikir Abanda. Mereka pasti malu memperlihatkan tangan dan kakinya yang aus digerus penyakit kusta.
Sebelum keluar dari pintu rumah kontrakan neneknya yang sempit, Abanda merengkuh tubuh ringkih Daeng Halimah. Abanda bisa merasakan bagaimana tubuh neneknya bergetar menahan rasa haru. Saudara-saudaranya, Melisa, Jule, Fandi, dan Aisyah berdiri mengamatinya dari jarak yang tak bisa ia jangkau, mata mereka basah juga karena haru.
Subuh itu sungguh lain. Dulu, di waktu-waktu seperti itu Daeng Halimah sudah membangunkan Abanda sambil sibuk menyiapkan perlengkapannya, baju tua yang bau dan robek sana-sini, untuk kemudian bersegera berangkat ke tempatnya biasa bekerja. Tetapi tidak subuh itu, Daeng Halimah menemani Abanda menunggu penjemput yang akan membawanya ke Karebosi, di markas MFS berkumpul dengan teman-temannya yang juga akan berangkat ke Jakarta menjemput mimpinya masing-masing.
Hari itu, Daeng Halimah akan terlambat bekerja. Bagi Daeng Halimah, mengemis adalah bekerja. Mengemis adalah satu-satunya pekerjaan bagi nenek dan ibu Abanda. Jika saja nenek dan ibunya bisa melakukan pekerjaan lain, tentu mereka tak akan jadi pengemis. Penyakit kusta menjadi nasib buruk yang tidak memberi banyak pilihan hidup.
***
23 APRIL 1994, Abanda lahir di tengah keluarga berantakan di lokasi yang disediakan pemerintah sejak tahun 1970-an khusus untuk para penderita penyakit kusta di Makassar. Sebelum menikah, Daeng Mantang, ibu Abanda, adalah seorang gadis nakal. Tetangga-tetangga Daeng Mantang tahu hal itu. Abanda pernah bertanya kepada Daeng Mantang tentang tato di lengan kanannya tetapi ia marah dan tidak menjawabnya. Kata Daeng Halimah, sang nenek, dulu Daeng Mantang seorang pemabuk. Sampai nasib buruk kemudian datang pelan-pelan melalui kusta yang memakan jari-jari kaki dan tangan Daeng Mantang, seperti orang-orang tua lainnya di sana.
Kata Daeng Halimah, Abanda sudah jadi pengemis saat usianya belum sebulan. Abanda digendong Melisa, kakaknya yang lima tahun lebih tua, dari satu pintu pete-pete ke pintu pete-pete lainnya menagih simpati orang-orang. Sejak itu, Abanda tak lagi mengenal cuaca. Hujan atau kemarau tak ada bedanya bagi Abanda. Itulah sebabnya kulitnya legam. Gosong terbakar.. Itu jugalah sebabnya teman-temannya di MFS memanggilnya Abanda, meskipun sesungguhnya orang-orang di lingkungan rumahnya memanggilnya Aco dan di daftar hadir sekolah namanya Muhammad Nur. Abanda diambil dari nama mantan pemain Persatuan Sepakbola Makassar (PSM), Abanda Herman. Kulit mereka nyaris sama hitamnya; Abanda anak jalanan yang mimpi jadi pemain bola, Abanda Herman pemain yang dikontrak dari Kamerun.
Abanda adalah anak kedua dari lima bersaudara. Sejak kecil Abanda tinggal bersama Daeng Halimah. Sebenarnya Daeng Halimah adalah tante Daeng Mantang. Tetapi karena tiga suami Daeng Halimah tak bisa memberinya satu pun anak, maka setelah tua ia mengangkat Abanda sebagai anak. Daeng Mantang tak keberatan satu beban hidupnya pindah ke tangan tantenya.
Ibu dan ayah Abanda sering bertengkar. Daeng Mantang boros dan tidak tahu menabung. Rumah milik mereka satu-satunya dijual kemudian mereka mengontrak di sepetak rumah kecil milik tetangganya yang tak layak disebut tempat tinggal. Tempat tinggal para penderita penyakit kusta yang terletak di RT 2 RW 2 Tamalanrea Jaya, Jalan Perintis Kemerdekaan VI itu kini dihimpit oleh pondokan mahasiswa. Sedikit demi sedikit rasa percaya diri orang-orang seperti Daeng Halimah dan orangtua Abanda muncul karena bergaul dengan masyarakat umum. Meskipun tentu tidak semudah yang Abanda bayangkan, banyak orang yang tetap meludah jika melihat tangan dan kaki Daeng Halimah. “Saya selalu berpikir bahwa keluargaku adalah tempat sampah yang penuh nasib buruk,” tutur Abanda dengan mata basah, saat ia menuturkan kehidupan keluarganya.
Setiap hari, sebelum Abanda sekolah, dari pagi hingga pukul 11 malam ia harus bekerja sebagai pengemis di dekat Mesjid Raya yang kini telah dipugar menjadi cantik berkat sumbangan dana 1,5 milyar rupiah dari Wakil Presiden, M. Jusuf Kalla. Setelah sekolah di SD Bung, di depan Kampus Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan, Abanda hanya bekerja dari sore sampai malam hari. Bubar sekolah, ia harus bergegas menuju tempat di mana Daeng Halimah, Daeng Mantang, dan adik-adiknya mencari kepingan-kepingan uang logam. Ia tak sempat mengganti seragam sekolahnya. Daeng Halimah yang membawa pakaian ganti untuk cucunya di tempat mangkal mereka.
Abanda tak pernah membayangkan dirinya akan bermain bola seperti anak-anak lelaki lainnya yang sering ia lihat sore hari dijemput bapaknya. Di tempat ia mangkal, Abanda sering melihat anak-anak siswa MFS lewat dibonceng ayah mereka pulang seusai latihan melintas di jalan itu. Meskipun ia memang senang bermain bola, masuk MFS adalah sesuatu yang mustahil baginya. Membayar uang pendaftaran lima ratus ribu rupiah dan iuran bulanan dua puluh lima ribu rupiah tentu sangat besar dan berat baginya. Dalam sehari, Abanda hanya bisa mendapatkan uang paling banyak 10 ribu rupiah. Sebagian uang itu ia simpan untuk membayar biaya bulanan sekolahnya. Sebagian lagi untuk neneknya yang harus membayar kredit. Sewaktu jatuh sakit, Daeng Halimah harus meminjam uang tujuh ratus lima puluh ribu rupiah untuk membeli obat. Setelah sembuh, Daeng Halimah harus mengembalikan uang itu tiga kali lipat. Demi membantu meringankan beban Daeng Halimah, Abanda harus terus menjadi pengemis setelah bubar sekolah. “Saya sebenarnya malu mengemis, tetapi utang nenekku banyak,” kata bocah berkulit legam ini.
* * *
DESEMBER 2004, Abanda bersama Herli akhirnya bisa ikut menjadi siswa MFS. Herli tak mau masuk MFS jika Abanda, sahabatnya, juga tak ikut. Abanda tentu tak mungkin mendapatkan uang lima ratus ribu rupiah. Herli membujuk ayahnya, Syamsunia, untuk membiayai Abanda. Syamsunia, salah seorang anggota DPRD Sulsel, menyanggupi permintaan anaknya.
Sewaktu masih SD, Herli dan Abanda memang sudah menjalin persahabatan yang aneh. Herli anak yang berasal dari keluarga yang serba berkecukupan, sementara Abanda seorang pengemis. Bagi Abanda, Herli sangat berjasa memberinya rasa percaya diri untuk bisa bergaul dengan anak-anak lain yang nasibnya lebih beruntung. Abanda tahu banyak teman-temannya memandangnya rendah sebab ia seorang anak jalanan. Seorang pengemis. “Tetapi Herli berbeda dengan teman-teman saya yang lain. Meskipun ia tahu saya seorang pengemis dan keluargaku penderita kusta, ia tetap ingin jadi sahabatku,” kata Abanda tentang Herli.
Saat pertama bergabung di MFS, kecuali Herli, tak ada yang tahu bahwa Abanda seorang pengemis yang sering mangkal di Jalan Mesjid Raya.
Seleksi pertama yang diikuti Abanda dan Herli adalah Liga Danone 2005 di Jakarta. Sebagai anak yang hidupnya keras, Abanda memiliki fisik yang kuat. Ia lolos seleksi, Herli juga. Oleh pelatihnya, Achmad Palallo, Abanda diposisikan sebagai stopper. Postur tubuh yang lebih tinggi daripada teman-temannya, membuatnya cocok berada di posisi itu.
Setelah dinyatakan lulus seleksi, saatnya pemeriksaan data. Pengurus MFS 2000 kemudian tak menemukan data Abanda di antara siswa-siswa lainnya. Diketahui kemudian bahwa Pak Syamsunia memasukkan Abanda ‘lewat jendela’ tanpa perlu membayar uang pendaftaran.
Melihat bakat yang ditunjukkan Abanda, manajer tim MFS, Diza R. Ali, mendekati Abanda yang sedang menangis membayangkan dirinya tidak jadi bermain karena ketahuan tidak terdaftar sebagai siswa. Kepada Diza, Abanda kemudian menceritakan kisah hidupnya. Diza yang dikenal keras tersentuh juga hatinya dan mengijinkan Abanda menjadi siswa MFS sekaligus sebagai anggota tim MFS di Liga Danone 2005.
Abanda senang sekali membayangkan dirinya akan bermain di Jakarta. Ia berjanji akan mempertahankan gawang dari gempuran lawan-lawannya. Abanda dikenal sebagai anak yang ngotot dan keras dalam bermain, meskipun sesungguhnya dalam pergaulan sehari-hari, ia seorang anak yang pemalu.
***
MINGGU SORE, 26 JUNI 2005, di Stadion Brojonegoro Kuningan Jakarta, Abanda dan kawan-kawannya berhasil mengalahkan tim Jawa Timur, Persebaya Junior, di Final Liga Danone Indonesia, dengan skor tipis 1 – 0 lewat gol dari Adi. Kawan-kawan Abanda merayakan kemenangan itu dengan saling merangkul dan kejar-kejaran di lapangan sambil berteriak, “Perancis, kami datang lagi!” Abanda tertunduk bergetar sendiri di depan gawang. Ia tak bisa membayangkan dirinya berada di Perancis mengikuti 2005 World Final Danone Nations Cup Ia dan kawan-kawannya telah diberitahu oleh manajer MFS, Diza Ali, bahwa jika ia menang ia akan pergi ke Perancis, seperti yang pernah dilakukan oleh siswa MFS tahun sebelumnya.
Sekembalinya dari Jakarta, ia semakin terus dibayangi oleh ketidakpercayaannya sendiri bahwa ia akan pergi ke Perancis. Ia bahkan tidak tahu di benua apa Perancis itu berada. Daeng Halimah juga sangat senang mendengar kabar cucunya akan berangkat ke Perancis, apalagi setelah menang di Jakarta, Abanda membawa pulang piala dan uang sebesartiga ratus ribu ribu yang ia bagi-bagi untuk nenek, ibu, dan saudara-saudaranya. Daeng Halimah menangis memeluknya saat ia menyerahkan uang hasil jerih payahnya bermain bola. Kata Daeng Halimah, itulah uang pertama yang diperoleh Abanda yang bukan dari hasil mengemis. Sebenarnya uang itu bukanlah hadiah dari kemenangan tim MFS di piala Danone. Panitia tidak menyediakan uang tunai sebagai hadiah. Kata Diza Ali di Harian Fajar, 28 Juni 2005, uang masing-masing tiga ratus ribu ribu itu sebenarnya adalah bonus yang ia rogoh dari sakunya sendiri.
Hasil yang diperlihatkan oleh Abanda, yang membuat timnya tidak kebobolan satu gol pun, dan kegigihan Abanda ingin jadi pemain bola membuat Diza Ali kemudian mengangkat Abanda sebagai anaknya. Sekembalinya dari Jakarta, Abanda kemudian menjelaskan kepada Daeng Halimah bahwa hidup dan sekolahnya akan dibiayai oleh manajernya. Daeng Halimah tak mungkin menolak nasib baik cucunya itu. Sejak saat itulah Abanda tak pernah lagi mangkal di Jl. Mesjid Raya bersama neneknya.
Setiap hari ia harus keras berlatih menghadapi pertandingan final piala Danone di Lyon, Perancis. Ia tak mau melepaskan mimpinya untuk bisa terbang ke Perancis. Setelah latihan, ia sering berdiri di pagar melihat-lihat para pemain PSM berlatih. Dari sanalah kemudian tumbuh keinginannya untuk menjadi pemain bola profesional yang main di PSM.
Diza Ali menargetkan MFS kali ini masuk lima besar. Tahun sebelumnya di ajang yang sama, mereka hanya berada di posisi 26 dari 32 peserta. Abanda merasa ia juga memiliki tanggung jawab besar itu, masuk lima besar. Ia bahkan berkata pada dirinya sendiri, “MFS harus juara!”
Sabtu, 28 Agustus 2005, dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, rombongan MFS bertolak ke Perancis. Abanda tak bisa memejamkan mata di pesawat. Ia tak bisa meredakan kegembiraan hatinya. Ia mengingat satu per satu wajah orang-orang yang dicintainya; Daeng Halimah, Daeng Mantang, Daeng Kaseng, saudara-saudaranya, dan teman-temannya di Jalan Mesjid Raya dan di lingkungan tempat tinggalnya. Ia tak bisa melupakan pesan neneknya, “Jadilah orang sukses, Nak!”
* * *
LEBIH 11.580 KILOMETER dari Indonesia, di sebuah lapangan basket di Lyon, Perancis, pada tanggal 5 September 2005, Abanda bergoyang bersama bersama anak-anak seusianya dari 32 negara. Abanda tak pernah bisa melupakan peristiwa itu dari kepalanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa betul-betul sebagai anak-anak. Sebelum menjadi siswa MFS dan bermain bola membela negaranya, ia selalu merasa sebagai anak yang terpaksa menjadi dewasa; mencari uang untuk makan dan membiayai sekolahnya sendiri. Di farewell party itu, ia bersenang-senang sebisanya. Ia melupakan semua kegetiran hidup yang selama ini tak mau beranjak darinya.
Meskipun tak bisa memenuhi target masuk lima besar, Abanda sangat senang bisa mengalahkan tim-tim besar seperti Belanda, Italia, Perancis, dan Irlandia. Ia tak bisa melupakan usapan jari, Achmad Palallo, pelatihnya, di kepalanya karena berhasil membawa MFS menjadi tim yang paling sedikit kebobolan gol. Tentu saja Abanda merasa ini adalah buah dari kerja kerasnya.
Sampai kini, Abanda masih bisa dengan lancar menceritakan kegembiraannya pernah bermain di Perancis. Di lingkungan para penderita kusta di tempat tinggalnya, ia dielu-elukan seperti seorang pahlawan yang pulang membawa kemenangan dari medan perang.
Daeng Halimah mengenang kisah kemenangan cucunya itu sebagai kebahagiaan paling besar yang pernah dirasakan keluarganya. Daeng Halimah, sambil melihat jari-jari tangannya yang aus, membanggakan cucunya. Ia berulang-ulang mengatakan, “Saya sangat percaya nasib itu bisa berubah, sepanjang kita mau berusaha.” Sebagai pengemis, Daeng Halimah tak pernah menyesali nasibnya. Seandainya ada orang yang mau menjadikan saya pembantu rumah tangga, tentu saja saya tak mau turun ke jalan, kata Daeng Halimah.
Di atas meja kecil tak bercat di sudut ruang tamu Daeng Halimah, berdiri sebuah piala berwana perak yang diterima Abanda di Perancis. Di atas piala itu, selembar foto Abanda bersama tim MFS lainnya, terpajang tanpa bingkai, di dinding rumah yag kusam itu.
***
SEPULANG DARI SEKOLAH, Selasa 11 April 2006, Abanda makan siang lalu mengganti seragamnya. Sekarang ia tak lagi butuh tergesa-gesa melakukannya. Ia kini tinggal di tempat tinggal ibu angkatnya, Diza R. Ali, di sudut barat-selatan Lapangan Karebosi, di mana kantor MFS berdiri. MFS yang diresmikan oleh Agum Gumelar, Ketua PSSI waktu itu, tanggal 23 Agustus 2000 sekarang menjadi tempat tinggal Abanda. Sebuah kamar kecil di sebelah kanan kamar seorang lelaki tua yang bertugas memotong rumput lapangan MFS, menjadi kamar Abanda. Di kamar itulah Abanda selama ini beristirahat selepas latihan.
Dengan baju seragam bola yang kedodoran berwarna biru berlengan putih bertuliskan Makassar Football School di punggungnya, Abanda memasuki lapangan sambil menenteng bola. Ia sudah tak canggung lagi berjalan bersama siswa-siswa lainnya yang rata-rata anak orang kaya.. Di lapangan ia memimpin teman-temannya berlari-lari, berbelok-belok menggiring bola melewati rintangan yang sudah dipasang oleh pelatihnya. Ia terlihat semakin lihai memainkan bola. Kini setiap hari Abanda harus berlatih mempersiapkan diri untuk ikut kembali berlaga di Liga Danone di Jakarta. Ia sangat berharap tahun ini timnya kembali bisa terbang ke Perancis dan menjadi juara. Dalam bermain bola, bocah legam itu selalu meniru gaya bertahan Rio Ferdinand, pemain Manchester United yang diidolakannya.
Abanda memang beruntung. Dari 400 lebih siswa MFS saat ini, ia terpilih kembali memperkuat MFS di Liga Danone.
Kini ia berkonsentrasi untuk latihan, ia tak perlu lagi turun ke jalan mencari uang untuk makan dan membiayai sekolahnya. Oleh ibu angkatnya, ia disekolahkan di SMP Nasional Makassar, di Jl. Ratulangi. Sekarang ia masih duduk di kelas 1, kelas 1 A.
Seusai latihan, Abanda masuk ke kamarnya mengambil handuk lalu mandi. Setelah itu ia harus menyelesaikan tugas dari sekolah yang harus ia kumpulkan besok harinya.
* * *
SELEPAS MAGRIB, SELASA, 11 April 2006, Daeng Halimah masih terlihat berjalan di antara pete-pete di Jl. Mesjid Raya. Sementara itu, Daeng Mantang dan suaminya, Daeng Kaseng, menikmati makan malam sambil menunggui gardu kecilnya yang belum lama mereka dirikan di rumah kontrakan mereka, di antara rumah-rumah para penderita kusta lainnya. Gardu kecil itu mereka bangun dari uang yang dipinjam dari tetangganya dengan bunga hampir tiga kali lipat dari nilai pinjaman.
Malam itu, Aisyah, adik bungsu Abanda sedang menengadahkan tangannya di lampu merah di Jalan Perintis Kemerdekaan, di sekitar Pintu II Universitas Hasanuddin, di jalan masuk Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Belum sebulan ia pindah ke tempat mangkal yang baru itu. Melisa, kakak Abanda yang telah menikah dengan seorang lelaki pemabuk dan kemudian bercerai, sedang berada di kamarnya berusaha menidurkan anaknya yang tak lagi memiliki ayah. Melisa dan suaminya bercerai dua bulan setelah anak mereka lahir.
Sementara di salah satu sudut Karebosi, Abanda baru saja menyelesaikan rutinitas latihannya. Setiap hari ia berlatih penuh semangat, demi untuk mewujudkan impiannya: menjadi pemain bola yang hebat dan membahagiakan keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar