Kamis, 02 Juni 2011

JEPANG...NEGARA TUJUAN UNTUKKU...

Jepang di Mata Orang Indonesia
Negara Nippong. Negara yang bangkit setelah di luluh lantakkan oleh Bom yang di lancarkan Amerika pada dua kepulauan besar negeri sakura. Pulau hirozima dan Nagasaki, saksi sejarah lahirnya peradaban Baru. Lagu khas yang tercipta dari alunan musik kecapi menjadikan ciri khas nada yang tercipta.
Jepang memukau dunia. Pasti. Perang dunia kedua usai menjadikan Produktivitas perusahaan Jepang meningkat, bahkan mengalahkan Amerika sebagai Negara yang memiliki Produktivitas perusahaan tertinggi.
Bagi indonesia sendiri, Jepang adalah negara yang pernah menoreh luka bagi bangsa indonesia. Akan tetapi hal tersebut menjadikan bangsa indonesia melek akan perubahan. Hal ini dapat di lihat dari bangunan peninggalan jepang yang masih awet. Masa penjajahan Jepang mereka meninggalkan berbagai Aset yang kemudian di lestarikan oleh masyarakat pribumi. Jika di bandingkan ke kaguman bangsa indonesia terhadap jepang, ternyata dunia internasional sangat kagum akan kemampuannya. Terbukti dengan adanya berbagai penelitian yang di lakukan oleh beberapa manajer Amerika dengan bekerja tanpa di gaji asalkan mereka mengetahui rahasia manajemen Jepang.
Keunikan jepang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan bangsa Jepang serta nilai-nilai tradisional yang terkait di dalamnya. Mereka dapat mensinergikan budaya modern yang masuk dan Nilai Tradisional yang masih kental dan melekat pada masyarakat jepang. Meski sebelumnya jepang sangat menolak Pengaruh dari luar setelah pengeboman atas Hirosima Dan Nagasaki yang sekaligus mengakhiri Perang Dunia II, negara Matahari Terbit ini berada di kawasan Amerika Serikat yang berlangsung 1945 hingga 1952. Berlatar belakang Tegen Prestatie adalah awal politik luar negeri Jepang cenderung seirama dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Di antara negara kecil di Asia tenggara, Jepang memiliki Reward di mata Dunia. Jepang termasuk negara di Asia yang mampu bangkit dari kehancurannya dan menjadikan masa silamnya untuk membangun dengan semangat kerja keras yang mampu menempatkan dirinya sebagai negara paling maju di Asia. Jepang mampu menjadi negara yang memiliki kehidupan ekonomi yang relatif kondusif di dunia. Dengan kondisi ekonomi dan politik yang demikian Jepang mampu mengucurkan jutaan Yen bagi berbagai proyek di Indonesia.
Selain dari itu, ke istimewaan dari Jepang yaitu kemajuan dan Perkembangan Negaranya dapat berkembang justru karena mereka tidak memupuskan nilai-nilai tradisional yang telah menjadi budaya bangsa. Di dalam berbagai upacara kenegaraan, nilai –nilai tradisional masih tetap di pertahankan . kantor-kantor perwakilan Jepang di luar negeri pun pada hari-hari tertentu selalu merayakn hari bersejarah yang sudah di rayakan secara tradisional oleh rakyatnya. Perayaan hari-hari tertentu pada setiap Bulannya menjadi sesuatu yang akan di temui d Jepang. Salah satu budaya yang terkenal dari Jepang dan di lestarikan yaitu bangunan-bangunan peninggalan zaman kekaisaran Jepang, kimono, geisha, samurai,sampai penggunaan produk dalam negeri.
Titik balik ditangan Tokugawa.

Jepang masa lalu adalah Jepang yang senantiasa diwarnai dengan perpecahan, perselisihan, dan peperangan antara suku-suku dan daerah-daerah serta perampokan. Kerusuhan melanda seluruh negeri sehingga rakyat merasakan tidak ada keamanan sama sekali. Tetapi setelah Ieyashu Tokugawa mengambil alih kekuasaan pada tahun 1603, Jepang mengalami titik balik yang penting dalam sejarahnya. Tokugawa seakan menciptakan semacam cetakan induk yang didalamnya semua segi kehidupan bangsa jepang diatur, termasuk social dalam masa 265 tahun selanjutnya.

Setelah Tokugawa berkuasa kemudian berhasil menyatukan bangsa Jepang dengan membangun masyarakat secara terstruktur dan berkasta-kasta. Di luar kaum bangsawan, maka masyarakat Jepang terkelompok ke dalam empat kasta, yaitu militer, petani, cendikiawan, dan pedagang. Yang menjadi dasar pengelompokan ini adalah seberapa banyak kontribusi atau sumbangan produktivitas mereka kepada masyarakat. Kaum militer dianggap kasta yang paling tinggi karena sumbangan produktivitasnya kepada masyarakat d innilai yang tertinggi. Hal ini bisa dimaklumi karena situasi keamanan dan ketertiban masyaakat saat itu dinilai “sangat mahal” harganya, dan militerlah yang dinilai mampu mengupayakannya.

Kelompok militer diatas dikenal juga dengan sebutan “Samurai”. Selanjutnya kelompok dibawahnya adalah kelompok petani biasa. Kelompok ini dianggap besar pula sumbangan produktivitasnya terhadap masyarakat dan negara. Sedangkan kelompok yang d inilai paling rendah kasanya adalah kelompok pedagang. Mereka dinilai tidak mempunyai sumbangan produktivitas apa-apa terhadap masyarakat. Akan tetapi, pada perkembangan berikutnya ternyata kelas pedagang ini semakin unggul, bahkan kelas samurai dan petani kemudian tergantung kepadanya. Maka kelas pedagang mulai punya pengaruh penting kepada kekuasaan feudal.

Nilai-nilai Masyarakat “Warisan” Tokugawa.
Dibawah kepemimpinan Tokugawa, bangsa Jepang dapat hidup dalam keadaan relatif stabil, meskipun cara hidup mereka terpola-pola dan terkasta. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, sebagaimana dikemukakan oleh Mirrian Syofian Arif (1986), yakni:

Pertama, pemerintahan militer (shogun) Tokugawa menggunakan ajaran konfusianis sebagai falsafah hidup bangsanya. Konfusianis mengajarkan bahwa masyarakat yang besar adalah masyarakat yang mempunyai empat ciri dalam hidupnya, yaitu: kebajikan, sopan santun, bijaksana dan percaya mempercayai sesamanya, ajaran konfusianisme ini bukan ditanamkan sebagai ajaran agama, tetapi berorientasi pada kehidupan dunia. Dengan demikian, terciptalah pola kehidupan yang disarankan kepada lima kunci semboyan hidup, yaitu:
1. hormat antara bapak dan anak.
2. penghargaan dan loyalitas antara atasan dan bawahan
3. harmonis anara suami dan istri
4. keteladanan antara kakak dan adik
5. percaya mempercayai sesama teman

Empat semboyan terdahulu erat kaitannya dengan system masyarakat yang berkasta-kasta, sedangkan yang terakhir tatanan seluruh kehidupan masyarakat.

Dalam ajaran busindo siapapun yang menduduki jabatan diharapkan dapat memberi kebajikan atau karunia kepada bawahan. Bagi bawahan kebajikan itu dirasakan sebagai berhutang budi kepada atasannya yang tidak dapat dibalas dengan apapun juga selain kesetiaan. Bawahan yang gagal memberikan kepuasan dan kesetiaan kepada atasannya dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang tidak tau kebajikan. Orang yang bersangkutan akan merasa malu dan perasaan ini sangat berat menghimpit jiwanya. Konsep kebajikan dan kesetiaan ini merupakan pola hidup masyarakat Jepang.

Ketiga, nilai lain yang dianut bangsa jepang adalah nilai kehidupan yang berorientasi kepada kelompok atau kolektif, setiap bidang kehidupan yaitu bidang politik, ekonomi dan sosial masyarakat Jepang, erat kaitannya dengan kelompok sehingga hampir tidak ada kebebasan bagi individu. Norma dan nilai kelompok dijadikan sebagai dasar bertindak setiap anggota kelompok, misalnya dalam bidang ekonomi terlihat adanya kerja sama kolektif atau famili sehingga kemakmuran seseorang erat kaitannya dengan kemakmuran kelompok atau familinya.

Perlu diketahui bahwa bangsa jepang adalah bangsa homogen, mempunyai kesamaan bahasa, agama, sejarah, dan kebudayaan. Salah satu sifat yang bisa dibanggakan pada bangsa jepang adalah kesanggupan mereka untuk bekerja sama secara kolektif dalam suasana yang harmonis. Agaknya aspek inilah yang sukar dipahami oleh bangsa barat yang bersifat individualistis terutama nilai-nilai kelompok dan rasa tanggung jawab kelompok.

Disamping itu ditemukan pula suatu pandangan bahwa dalam jiwa bangsa jepang tertanam suatu kepercayaan bahwa dirinya tidak lebih penting dari orang lain. Oleh sebab itu, proses pekerjaan dari awal sampai akhir adalah hasil kerja bersama-sama antara dia dengan orang-orang lain. Akibatnya peserta organisasi perusahaan atau negara jepang tidak akan dapat menunjukkan kalau ditanya siapa yang paling berkuasa dalam organisasinya, karena mereka tidak ada yang menganggap dirinya lebih penting. Mereka akan malu sekali kalau ada orang lain yang menganggap dirinya lebih penting dari orang lain.

Dalam organisasi jepang tidak dikenal pola hubungan berdasarkan pemenuhan kerja antara majikan dan buruh. Tetapi dengan menyediakan mekanismenya maka pola hubungan yang terjadi antara majikan, manajer dan buruh dapat berbentuk sosial dan emosional. Adapun cara yang di tempuh itu misalnya berupa acara makan siang atau makan malam bersama-sama yang dihadiri oleh semua peserta organisasi. Maka tidaklah mengherankan kalau ide, gagasan atau pemecahan masalah organisasi muncul pada waktu-waktu jam istirahat ketika semua peserta organisasi bertemu; jadi, tidak hanya diforum resmi pada jam kerja saja. Justru pada suasana santai seperti itu semua orang merasa bebas bertemu dengan siapa pun yang disukainya, dan bebas untuk bercurhat, mencurahkan segenap isi hati.

Itulah antara lain nilai-nilai yang diwariskan era Tokugawa yang masih memberi warna pada kehidupan masyarakat Jepang era modern. Kalau nilai-nilai tersebut demikian mengakar dan mbalungsumsum ke dalam kehidupan masyarakat Jepang, tampaknya ini adalah juga karena kebajikan Shogunat Tokugawa yang bersikap isolatif terhadap pengaruh-pengaruh asing. Dan Shogunat Tokugawa mengambil lsuatu tindakan drastis dengan menutup jepang terhadap dunia luar itu pada tahun 1639. selama masa isolatif yang berlangsung samapi abad ke-18 itu, Jepang tidak menerima kunjungan pendatang-pendatang asing manapun.

Selama zaman yang “lengang” tersebut, bangsa jepang berapa dalam perkembangan yang mengarah kepada sikap kebanggaan diri yang sempit. Mereka tak ubahnya dengan katak dalam tempurung. Isolasi terhadap dunia luar benar-benar membawa kemunduran yang tak pernah diperkirakan oleh para penguasa negeri ‘matahari terbit’ –begitu bangsa Jepang menjuluki negerinya ini.

Untungnya, selama masa isolasi ini ada wilayah tertentu yang bisa dimasuki orang asing, yakni di pulau Dejima, Nnagasaki, meski dengan ruang gerak yang dibaasi. Selama dua setengah abad, koloni di pulau Dejima merupakan satu-satunya titik kontak Jepang dengan perdaban dari Eropa. Maka melalui pintu inilah para sarjana dapat menimba ilmu pengetahuan dan sekaligus berkenalan dengan teknologi yang lebih maju.

Restorasi Meiji

Lama kelamaan rakyat jepang merasa era Tokugawa sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, mereka membutuhkan suatu kekuatan pembaharuan yang siap dengan kekuasaan di tangan untuk merombang keadaan statis menjadi dinamis. Sampai pada suatu saat, maka runtuhlan Shogunat Tokugawa pada tahun 1867. kekuasaan penuh kembali lagi ketangan k aisar, setelah dua abad lebih berada ditangan Shogunat. Kaisar Meiji (1868-1912) segera melakukan berbagai perombakan dan perbaikan struktur kenegaraan dan sosial. Gerakan Meiji ini dikenal dengan istilah Restorasi Meiji.

Jepang dibawah kekuasaan kaisar Meiji, mengalami perkembangan yang luar biasa hebat. Dari negeri yang terisolasi, langsung dapat memasuki pembentukan negar modern. Dengan industri yang modern pula. Tetapi tentu saja hal itu tak akan terjadi apabila tidak ada pra kondisi yang telah disiapkan berabad-abad sebelumnya. Dengan demikian, gerakan pembaharuan yang dilakukan kaisar Meiji itu laksana bendungan yang jebol yang dibaliknya telah terkumpul kekuatan selama berabad-abad.

Pembaharuan dibidang ekonomi juga dilakukan secara besar-besara, seperti halnya dibidang sosial dan politik. Mereka menyadari bahwa penerapan teknologi maju dari Barat harus diimbangi dengan kemajuan sosial dan politik. Akibatnya, walaupun kemajuan telah melanda jepang tetapi bangsa Jepang masih tetap dalam kepribadiannya. Oleh karena itu, spirit yang selalu mereka tanamkan ialah Wahon Yasai, artinya Jepang dan teknologi Barat.

Dalam kancah militer, Jepang juga mengalami keunggulan. Setidaknya dalam perang Cina-Jepang pada tahun 1894-1895, dan sepuluh tahun kemudian melawan Rusia; kedua-duanya dimenangkan oleh pihak Jepang. Dalam kedua peperangan tersebut Jepang berhasil mendapatkan kembali pulau Sakhilin Selatan yang bebarapa tahun sebelumnya diserahkan kepada Rusia sebagai penukar kepulauan Kuril. Jepang juga memperoleh hak kekuasaan di Formosa (Taiwan), Korea, dan hak-hak khusus di Mancuria.

Akibat aliansi dengan Inggris sejak tahun 1902, Jepang jadi ikut terseret ke dalam perang Dunia I. Bersama para sekutu Beratnya, Jepang pun keluar sebagai pihak yang menang.

Prestasi demi prestasi, kemajuan demi kemajuan yang diraih ternyata tak selamanya membawa berkah, tetapi ternyata bisa mengundang bencana. Inilah yang terjadi pada bangsa Jepang. Kebanggaan diri secara nasional yang berlebih-lebihan, tanpa disadari ternyata menimbulkan bahaya baru yang dapat mengancam bangsa Jepang sendiri. Kemajuan pada segala bidang, termasuk industri dan industri persenjataan perang, menyeret jepang ke dalam ancaman perang baru yang tak bisa dielakkan, terana dunia II.

Dalam Perang Dunia II itu Jepang mengalami kekalahan yang menyakitkan setelah dua buah bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. Pihak sekutu (Amerika cs) yang menang perang memaksa Jepang tidak mampu lagi memiliki kekuatan militer seperti masa-masa sebelumnya. Dan rakyat Jepang pun jadi benar-benar menderita akibat nafsu haus perang dan bangga diri dari kaum militer mereka.

Keadaan Pasca Perang

Bangsa jepang Sock. Soalnya rakyat yang telah diindoktrinasi selama hampir setengah abad dengan ideology nasional sebagai bangsa yang besar dan kuat. Tiba-tiba kalah dalam perang Dunia II. Akibaatnya timbul kecenderungan untuk menolak ideology dan nilai-nilai tradisional pada masa yang lalu. Penolakan nilai-nilai lama ini menyebabkan rakyat Jepang lebih bersikap moderat. Lalu timbullah kepercayaan pada masyarakat Jepang bahwa perlu ada perbaikan-perbaikan dalam bidang sosial yang dapat mendukung dan mengimbangi fenomena pertumbuhan ekonomi. Perubahan itu antara lain perubahan dalam institusi dan system pemerintahan yaitu dari bentuk otoriter menjadi demokrasi.

Perubahan sosial yang mencolok adalah perubahan tentang struktur kerja dan pola pembagian pendapatan sebagai akibat kemajuan ekonomi. Rakyat yang dulunya hanya hidup di desa dengan bertani, sekarang mulai meninggalkan profesinya dan menyerbu kota-kota besar untuk bekerja di industri. Mereka dibayar dengan jumlah gaji yang selalu ditingkatkan sehingga mengakibatkan perubahan pada pola konsumsi masyarakat yang semakin modern.

Dari pengalaman pahit kalah dalam Perang Dunia II itulah, kemudian Jepang giat membangun ekonominya di segala bidang. Akibatnya pada tahun 1955-1963 terjadi suatu lonjakan ekkonomi yang cukup tajam, meningkat tiga kali lipat. Peningkatan tersebut erat kaitannya dengna kebijakan pemerintah Jepang yang mendukung pertumbuhan ekonomi dengan memelihara kestabilan nasional, pembaharuan unsur politik dan demokrasi, pengurangan biaya militer, pengerahan keterampilan dalam bidang industri dan penerapan teknnologi maju serta manajemen moderen.

Manajemen Jepang

Apabila dilihat dari sudut manajemen, maka sebenarnya prinsip-prinsip manajemen yang dipakai di Jepang itu sama saja dengan yang berlaku pada manajemen organissasi negara manapun. Meskipun demikian, belum tentu hasil yang dicapai juga sama. Sebab factor lingkungan yang berbeda-beda dapat menimbulkan hasil yang berbeda pula. Para ahli berpendapat bahwa tingkah laku manajemen yang berbeda antara Jepang dan Amerika misalnya, terutama kebudayaannya telah menyebabkan perbedaan hasil yang dicapai oleh masing-masing negara tersebut.

Masyarakat Jepang yang lebih bercora peternalistik, akan berbeda dengan masyarakat Amerika (Barat) yang cenderung individualistic. Itulah sebabnya mengapa manajemen Jepang sangat memperhatikan hubungan inter-antar kelompok ataupun dengan masyarakatnya. Sekedar contoh, Genta Ogami, seorang pengusaha yang antara lain bergerak di bidang pembiayaan iklan, dalam “tema” kerja di perusahaannya, mengajukan “ 10 Dasar Kerohania yang Menyelamatkan” yang sarat dengan muatan nilai-nilai sosial.
Ke-10 Dasaar Kerohanian yang dimaksudkan adalah:

Pasal 1:
Merealisasikan kebahagiaan material dan spiritual bagi seluruh karyawan dan seluruh manusia, serta memimpin usaha perdamaian di seluruh dunia.
Pasal 2:
Berdasarkan G. Sistem (system yang dijalankan perusahaannya,Pen), dengan setulus hati dan jiwa, menjadikan kelompok terbaik di duni untuk membangun kebahagiaan bersama seluruh dunia.
Pasal 3:
Saling menghormati kenyataan ‘jiwa’ yang hidup sebagai sesama manusia dari dasar lubuk hati dan hidup saling mengasihi dengan benar.
Pasal 4:
Jalanilah seluruh kehidupan dengan optimisme dan suka cita, harapan cemerlang dan keberanian menggebu, sera kata-kata yang dipenuhi perdamaian.
Pasal 5:
Menyimpan keinginan-keinginan tak terbatas dalam hati, menghilangkan pikiran yang berlebihan, pikiran yang membingungkan, dan hidup dengan pikiran positif terhadap segala sesuatu.
Pasal 6:
Membicarakan ketidak adilan dan ketidak puasan. Jika Anda punya waktu untuk itu, amati dan kritiklah diri sendiri dengan tegas, dan bersahabatlah untuk memperbaiki diri sendiri.
Pasal 7:
“Bekerja sebagai motivasi hidup”, dengan penuh syukur mengubah seluruh kehidupan menjadi kehidupan sejati yang penuh arti.
Pasal 8:
Perkokoh kekuatan, keberanian, keyakinan dan kerukunan di dalam hati kita untuk mencapai segala sesuatu.
Pasal 9:
Kita bergantung pada orang lain dan orang lain bergantung pada kita, segala sesuatu yang kita selesaikan, selesaikanlah lebih dari sekedar untuk mereih keuntungan.
Pasal 10:
Dengan ‘rasa kebersamaan’ membangun perdamaian sejati dalam kehidupan sehari-hari, keluarga, dan diri pribadi.
Dari butir-butir pasal di atas, dapat dilihat adanya kemampuan yang kuat dan luhur untuk bersama-sama mewujudkan apa yang dicita-citakan, di antaranya dalam upaya menggapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.

Nilai kebersamaan adalah hal yang penting dalam manajemen Jepang.
Maka dalam suatu organisasi di Jepang pada umumnya berlaku kode etik bahwa produktivitas dapat dicapai kalau ada saling percaya mempercayai antara buruh dn majikan. Jadi, kalau ada partisipasi dan saling percaya antara buruh dan majikan, serta pimpinan bijaksana, maka timbullah keintiman dalam organisasi ersebut sehingga produktivitas akan meningkat.

Hal yang sering terjadi, keintiman tersebut tidak hanya pasa masa selama bekerja saja, melainkan juga di luar jam kerja dan di mana-mana. Inilah manajemen partisipasi di Jepang, yaitu kerja sama antara buruh, majikan dan manajer untuk mencapai tujuan bersama, telah ikut menjadi penggerak yang signifikan bagi kemajuan ekonomi Jepang.

Dalam manajemen partisipasi, pihak manajer percaya bahwa keterlibatan semua pihak dalam organisasi dapat meningkatkan produktivitas. Oleh sebab itu, penekanan produktivitas tidak terletak pada yang mempunyai perusahaan, melainkan pada orang-orang yang melibatkan diri dalam perngolahan organisasi. Kode etik ini telah melahirkan cirri-ciri yang khars pada manajemen Jepang misalnya dalam hal:

1. Sistem Kerja Seumur Hidup
Umumnya system ini diterapkan oleh perusahaan besar dan birokrasi pemerintah. Begitu seorang masuk ke dalam organisasi atau perusahaan tersebut, maka ia akan bekerja di situ sampai mencapai umur 55 tahun ( usia pensiun). Ini bisa terjadi karena etika yang berlaku adalah bahwa suatu perusahaan tidak mau melakukan pembajakan pegawai dari perusahaan lain dalam arti tidak mau menerima mereka yang ingin pindah dari suatu kelompok besar.
Sedangkan pemberhentian pegawi yang belum mencapai usia 55 tahun atau usia pensiun, biasanya bersangkutan dengan masalah kriminal. Keadaan demikian terntu akan membuat orang berpikir berkali-kali kalau mau keluar dari pekerjaan untuk mencari pekerjaan lain, sebab citra dirinya akan dipertanyakan.
Kemudian tentang pembinaan karier, semua pegawai mendapat kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi untuk menggantikan atasan yang pensiun. Para pensiunan diberi pesangon sebanyak lima atau enam tahun gaji sebagai hadiah pensiun. Tetapi mereka tidak diberi uang pensiun atau jaminan sosial lainnya. Meski demikian, perusahaan tidak akan membiarkan mereka yang telah pensiun begitu saja, apalagi mengingat bahwa pada umur 55 tahun itu orang masih mampu berproduksi. Mereka masih dipikirkan nasibnya, misalnya disalurkan keperusahaan “satelit”, yakni perusahaan yang bukan merupakan anggota perusahaan besar tersebut tetapi erat kaitannya dengan perusahaan besar itu karena tugasnya menyalurkan atau melayani kepentingan perusahaan besarnya.

2. Evaluasi dan Promosi
tidak seperti di Indonesia, karyawan di sana akan dievaluasi sekali dalam sepuluh tahun. Selama masa itu tidak akan ada promosi bagi dirinya. Promosi yang lambat ini akan menghambat permainan yang tidak wajar dari perkerja karena seluruh karyawan tahu dan menyadari kapan masanya dia dinilai dan dipromosikan. Akibat yang lain ialah tidak akan timbul usaha karyawan untuk menojolkan dirinya sendiri secara individual untuk menarik perhatian pemimpin. Evaluasi dan promosi yang lama ini memberi kesempatan kepada para manajer muda untuk mengembangkan sikap terbuka dalam bekerja sama, mengokohkan penampilan dan menilai dirinya sendiri. Apalagi ditunjang dengan kondisi kantor yang mendorong orang saling berhubungan secara dekat atau intim satu sama lain. Kebanyakan kantor disusun dalam bentuk yang memungkinkan orang saling kontak, misalnya manajer, staf, dan sekretaris serta pegawai-pegawai lainnya duduk bersama dalam satu meja yang disusun panjang.

Salah satu hal lagi yang mendukung manajemen Jepang ialah pandangan hidup masyarakat yang tidak menyenangi orang yang bersikap santai. Salah satu dari nilai Jepang adalah kerja keras. Nilai ini tercermin dari sikap masyarakat, misalnya kalau ada seorang pekerja yang pulang ke rumah sebelum waktunya maka masyarakat di sekitar rumah akan ribut bertanya tentang apa yang terjadi dengan pekerjaannya. Yang bersangkutan cenderung dianggap telah melakukan suatu kesalahan sehingga pimpinan menghukumnya. Maka dalam pandangan masyarakat, martabat keluarga orang itupun menjadi jatuh.

Sebaliknya masyarakat memandang seseorang sebagai orang penting k alau orang itu setiap hari kerja samapai larut malam sehingga marabat keluarganya meningkat. Kebiasaan di Jepang, tutup kantor pada pukul 17.00, sedangkan para manajer meninggalkan kantor pukul 18.00. Sehabis kerja, umumnya orang tidak langsung pulang ke rumah, tetapi menyempatkan barang satu jam untuk shotpping, bermain di pachino, atau keperpustakaan untuk membaca.

Masyarakat Jepang adalah “pelahap” bacaan yang mengagumkan, setidaknya untuk ukuran orang Indonesia. Maka tak heran kalau surat kabar di sana oplahnya sampai jutaan. Menurut catatan tahun 1980-an saja, oplah beberapa surat kabar Jepang adalah sebagai berikut:

a. Yoiuri : 12.014.000 eksp
b. Asahi : 11.904.000 eksp
c. Mainichi : 6.939.000 eksp
d. Nihon Keizai : : 2.874.000 eksp
e. Sankei : 2.718.000 eksp
(Sumber: “Mengenal dari Dekat Jepang, Negara Matahari Terbit” karya Syahbuddin Mangandaralam, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995).
Padahal Indonesia, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, pada tahun 1995an, surat kabar yang oplahnya mencapai 750.000 saja mungkin sudah yang terbaik. Ini memang menjadi keprihatinan tersendiri, apalagi jika di ingat bahwa kebudayaan baca itu erat kaitanya dengan kemajuan suatu bangsa.

Maka dunia perbukuan dan karya cipta pun belum tampak tanda-tanda pergerakan yang “spektakuler”. Bandingkan, kalau di Jepang satu judul buku di cetak ratusan ribu eksemplar itu sudah hal yang biasa, tetapi di Indonesia laku 5.000 eksemplar pertahun saja sudah termasuk yang best seller.

Karenanya jangan heran, meskipun Jepang miskin sumber daya alamnya, tetapi sumber daya manusianya berkualitas, maka kemajuan pun cepat diraih. Dan ternyata, SDM yang berkualitas itu lebih unggul ketimbang sumber daya alam yang berlimpah tetapi SDM-nya tidak mutu. Jepang dan juga Singapura adalah bukti yang nyata.
3. Pemberian Bonus dan Flesibilitas Kerja
perusahaan-perusahaan besar di Jepang, mempunyai daya tarik yang unik mengenai pemberian bonus dan keluwesan kerja.
Pertama, tentang pemberian bonus, setiap perusahaan besar memberikannya pada karyawan sekali dalam enam bulan. Selain itu ada juga bonus tahunan yang jumlahnya antara 5-6 kali gaji. Besarnya bonus tersebut tergantung pada keadaan perusahaan, tidak tergantung pada kecakapan karyawan. Sehingga k alau perusahaan sedang untung besar, bonusnya juga besar. Tetapi sebaliknya kalau perusahaan tengah merugi bukan saja mereka tidak dapat bonus, tetapi gaji mereka dapat dipotong untuk nomboki perusahaan. System ini menjadikan orang-rang yang terlibat dalam perusahaan mereka ikut bertanggung jawab atas mau mundurnya perusahaan tempat mereka menggantungkan hidup.
Adanya system tersebut menjadikan resiko perusahaan berada pada pundak seluruh karyawan, bukan pada pemilik perusahaan itu saja. Dengan demikian, seluruh karyawan merasa harus mau bekerja keras memajukan perusahaannya karena mereka merasa memiliki perusahaan tersebut, atau hidup dan matinya perusahaan tergantung pada kemampuan semua peserta dalam mengembangkan perusahaan itu. Perasaan memiliki ini akan semakin dirsasakan bila mengingat bahwa mereka tidak akan pindah ke perusahaan yang lain kalau telah bekerja pada suatu perusahaan karena adanya system kerja seumur hidup.
Kedua, Jepang mengenal system karyawan sementara terutama bagi karyawan wanita. Seorang gadis diharapkan dapat bekerja selama 5 atau 6 tahun dalam perusahaan sebelum mereka kawin dan mengurus anak-anak mereka. Kalau anak-anak telah memasuki sekolah maka ia diperbolehkan kembali kerja di perusahaan semula. Di samping itu juga diterapkan system waktu atau jadwal kerja yang fleksibel, artinya wantita dapat memilih kapan mereka mau mulai kerja sesuai dengan jadwl kerja yang telah di atur.
Kombinasi antara system bonus dan cara kerja sementara (bagi wantita) serta perasaan senasib dan sepenanggungan mulai dari pemilik perusahaan samapai pekerja tingkat terendah telah mendorong Jepang memiliki perusahaan-perusahaan yang kuat bersaing di seantero dunia.
4. Jalan Karier yang Tidak Berdasarkan pada Spesialisasi
Jepang memiliki tradisi yang unik dalam system karier seseorang. Perkembangan karier seseorang tidak diperoleh melalui kecakapan atau keahlian dalam satu bidang tugas, tetapi ditempuh melalui jalan yang berliku-liku sampai dia mahir betul tentang seluk beluk perusahaan tempat dia bekerja. Maka seseorang yang bekerja di perusahaan Jepang akan diarahkan untuk sebanyak mungkin ahli dalam semua tugas yang dilakukan di perusahaan tersebut.
Sementara seorang menilai hal tersebut sebagai kelemahan system kerja di Jepang. Tetapi nyatanya, system kerja demikian membawa banyak keuntungan, diantaranya seseorang tidak akan terbuang dari pekerjaannya jika perusahaan tersebut tidak lagi mengelola suatu tugas tertentu. Karena kemampuan y ang telah dimilikinya, maka dapat ditempatkan di bagian lain.
Keuntungan yang lain, oleh karena setiap pejabat telah ahli dalam seluruh tugas perusahaan, maka hal ini akan memudahkan untuk melakukan koordinasi dan pengawasan, sebab semua pihak yang terlibah dapat memahami masalah apa yang menjadi hambatan, serta seluk beluk lainnya.
Dengan pola kerja yang demikian, maka seseorang karyawan akan menjadi sering berganti tugas, sehingga ia sering menghadapi tugas baru. Padahal menurut penelitian dari MIT Culumbia University, bahwa pekerja pada tingkat manapun yang secara terus menerus menghadapi tugas baru akan merasa tugas itu lebih penting dan dikerjakan secara hati-hati, lebih produktif dan lebih merasa puas terhadap pekerjaannya dibandingkan dengna mereka yang hanya mengerjakan satu tugas saja, walaupun perpindahan itu tidak disertai kenaikan jabatan.

5. Sistem Pengawasan
System pengawsan dalam manajemen jepang memiliki corak yang menarik. Kalu kita mempunyai istilah waskat untuk pengawasan melekat, maka di Jepang ada pengawasan kelompok. Di Jepan, setiap peserta organisasi/ perusahaan kecil akan tergabung dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap orang dalam organisasi akan tergabung dalam kelompok-kelompok. Tiap kelompok biasanya terdiri atas 8-12 orang yang masing-masing mempunyai tugas yang berbeda-beda. Dalam kelompok setiap orang musti menjaga tindakannya dan memperkirakan bagaimana pandangan rekan-rekan terhadap dirinya. Sebab ketidaksetiaan mengurangi dukungan kelompok terhadap dirinya, yang pada akhirnya dia dapat dikeluarkan dari kelompok tersebut.
Dengan demikian, pengawasan dalam organisasi bukanlah bersifat eksternal baik dengan menggunakan model ancaman atau imbalan, melainkan lebih bersifat internal, yaitu melalui keintiman kelompok sendiri yang tidak kentara dan halus. Cara ini membuat masing-masing orang akan berusaha mengendalikan sikap dan tindakannya sedemikian rupa agar sesuai dengan norma-norma kelompok. Dan pada akhirnya setiap orang dalam kelompok itu akan berusaha sungguh-sungguh untuk meningkatkan produktivitas karena semua pihak merasa memiliki atau berkepentingan dengna perusahaan.

6. Proses Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan pada organisasi di Jepang, baik Negara maupun niaga, dewasa ini banyak diteliti orang secara mendalam. Mereka tertarik antara lain karena keunikan proses yang musti di lalui dalam pengambilan sebuah keputusan karena adanya pengaruh tradisi yang masih mengakar.
Dalam masyarakat kita, untuk mengambil suatu keputusan dikenal istilh musyawarah untuk mufakat. Cara ini mendasarkan keputusan pada permufakatan pihak-pihak yang terlibat. Sedangkan dalam masyarakat jepang mempunyai corak yang lain lagi. Dalam pengambilan keputusan, semua pejabat (orang-orang yang telibat) harus mengikuti prosedur-prosedur tertentu. Biasanya konsep datang dari pejabat rendah. Pucuk pimpinan boleh mengemukakan idenya tetapi harus menyuruh bawahannya untuk mengajukan k onsep. Konsep ini disebut ringinsho. Ringinsho formal yang telah di konsep diedarkan diantara berbagai kepala seksi dan bagian yang akan terlibah didalam pelaksanaan keputusan nantinya. Setiap pejabat yang mengevaluasi dokumen tersebut diharuskan membubuhkan tanda persetujuan atau penolakanya dengan mengemukakan pendapat-pendapatnya.
Dalam perkembangan berikutnya, prosedur ringi kemudian diperbarui, diubah, dan disederhanakan, sehingga dapat menghemat waktu dan lebih efisien. Perombakan itu antara lain dengna menyederhanakan format dokumen, memperjelas saluran yang akan dilalui ringi, mengurangi individu yang akan ringi, atau membiarkan usulan ringi diserahkan langsung kepada pucuk pimpinan terutama untuk kasus-kasus yang s angat penting. Perubahan lainnya ialah membahas usulan ringi dalam rapat pejabat secara keseluruhan. Jadi, bukan hanya membuhkan tanda persetujuan secara perorangan, tetapi didiskusikan secara bersama-sama.
Dengan mengakomodasi pendapat, aspirasi, ataupun saran banyak orang, menjadikan model pengambilan keputusan ala Jepang itu menghasilkan keputusan yang kuat landasannya, serta tahan lama.

7. Tanggung Jawab yang Menyebar.
Dengan pola pengambilan keputusan seperti di atas, maka permintaan tanggung jawab menjadi hal yang unik di Jepang. Pucuk pimpinan perusahaan tidak akan berpikir bahwa tanggung jawab hanya pada pundaknya, karena ia merasa bahwa tindakan yang di ambil itu atas usulan bawahan. Sebaliknya bawahan juga tidak b isa dituntut secara perorangan untuk bertanggung jawab karena ia hanya salah satu dari banyak orang yang memberikan persetujuannya. Jadi, tanggung jawab organisasi tidak terletak pada pundak satu orang saja, melainkan menyebar pada semua orang yang ada dalam organisasi tersebut.
Cara tanggung jawab seperti itu kiranya belum dapat diterima oleh manajemen barat. Namun, keuntungannya cukup besar, misalnya kalu ada salah seorang anggota kelompok yang tidak masuk kerja karena sakit, maka teman-temannya mengerjakan tugasnya. Dengan demikian, tidak ada pekerjaan yang terbengkalai karena tidak haridnya seseorang.

8. Keterlibatan Seluruh Orang
Organisasi Jepang berpandangan bahwa bekerjanya mekanisme organisasi tidak hanya ditunjang oleh factor-faktor dalam organissi saja, tetapi juga ditunjang oleh factor-faktor ayng ada diluar organisasi. Artinya, seluruh orang menunjang organisasi tersebut sehingga dapat berjaya mencapai sasarannya. Factor di luar tersebut ialah factor social yang merasa ada keterlibatan dengna pertumbuhan sesuatu organisasi, seperti consume, pensuplai, dan bahkan orangtua pekerja.
Contoh: berhasilnya seseorang memasuki kerja pada suatu organisasi adalah karena pendidikannya. Berhasilnya dia mempunyai pendidikan adalah berkat orangtua yang menyediakan segala s esuatu yang diperlukannya untuk mencapai suatu tingkat pendidikan dalam lsuatu lembaga tertentu. Oleh sebab itu, dlam penobatan calon karyawan menjadi karyawan suaatu perusahaan atau organisasi, orangtua karyawan diundang dan diberi ucapan terima kasih atas usahanya mendidik anaknya sehingga dapat memsuki perusahaan/ organisasi tersebut. Dengan demikian, terjalinlah hubungan yang erat di antara orang yang terlibah secara keseluruhan dalam menunjang berhasilnya suatu organisasi mencapai tujuannya.
Demikian sekelumit tentang manajemen Jepang yang memukau dunia karena keberhasilan-keberhasilanya. Hal-hal yang baik dapat kita tiru, sementara yang tidak cocok dengan situasi di sini dapat dijadikan pelajaran atau perbandingan. Bagaimanapun pengalaman adalah guru yang terbaik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar